Senin, 11 November 2013


Nikah siri: penyebab, bentuk dan implikasi, serta pandangan ulama tentang nikah siri

Pendahuluan
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumah tangga, dalam islam rumah tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan faktor utama dalam membina masyarakat, dari sebuah rumah tangga segala persoalan kehidupan manusia timbul. Adalah merupakan kehendak tuhan untuk memulai adanya kehidupan manusia diatas bumi melalui sebuah keluarga. Bersamaan dengan itulah ditetapkan pula aturan bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh setiap orang.
Nikah siri adalah pernikahan yang telah sah menurut agama tetapi “cacat” menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia karena pernikahnnya tidak dicatatkan oleh PPN (pegawai pencatatan nikah), kenyataannya dalam masyarakat kita sering terjadi nikah sirri. Nikah sirri itu dipandang sebagai perkawinan yang menurut agama, tetapi tidak sah menurut undang-undang. Apabila terjadi diantara suami isteri, maka perkaranya tidak dapat diajukan ke pengadilan agama, karena tidak tercatat, disinilah letak kerugiannya terutama bagi isteri.



SUJUD SUKUR. Sujud yang dilakukan untuk menyatakan rasa terima kasih atas karunia dan limpahan rahmat dari Allah SWT, atau rasa syukur atas terselamatkannya seseorang dari marabahaya.
Sujud syukur adalah perwujudan kesyukuran dengan hati yang menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah SWT sehingga terlontar dalam hatinya pujiaan kepada-Nya serta merenungkan tujuan dianugrahkan nya nikmat tersebut oleh Allah SWT. Boleh jadi ketika tertimpa malapetaka masih bersujud, bukan mensyukuri malapetaka yang menimpa, tetapi karena terbayang oleh nya bahwa yang dialminya pasti masih lebih kecil dari kemungkinan yang lain yang dapat terjadi. Dari kesadaran ini akan sujud untuk menyatakan rasa syukur nya kepada Allah.


Organisasi konferensi Islam (OKI). Embirio berdirinya organisasi perserikatan ngara-negara Islam ini telah lama muncul yang dimulai dengan berdirinya ide pan Islam pada abad ke 19 M. gerakan ini lahir sebagai usaha untuk merespon dominasi politik dan ekonomi barat. Pada abad 19 M para tokoh reformasi seperti Jamal al-Din al-Fagani (1839-1897M), Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Muhammad Rasyid dengan terbitnya Journal al-Manar mulai mempromosikan ide-ide kongres muslim pada tahun 1898 M. namun konferensi Islam pertama itu baru diselenggarakan lagi pada tahun 1962 M. dengan pertemuan di Kairo dan Di Mekkah. Namun pertemuan tersebut hanya mengutamakan pembahasan ide Kemal Attaturk mengenai penghapusan khalifah. Dan pada kongres yang ke-3 pada tahun 1931 bertujuan untuk melindungi muslim palestina dan tempat-tempat suci Yarussalem.



SABILILLAH. Secara etimologi berasal dari kata Sabil dan Allah. Kata sabil dalah sinonim dari kata toriq yang berarti jalan; Jadi kata sabilillah itu berarti jalan Allah, yakni segala jalan yang menyampaikan kepada keridhoan Allah, baik dalam bentuk keyakinan maupun perbuatan.
Di dalam al-Qur’an, lafaz sabilillah terdapat sebanyak 64 kali yang berkedudukan (I’rab) jar’ dari kata fi dan an. Lafaz sabilillah yang dijarkan dengan huruf fi terdapat sebanyak 40 kali yang dikelompokkan dalam ayat-ayat dan surat al-madaniyah. Kata ini terletak setelah kata infaq sebanyak 7 kali dan satu kali sesudah kata shadaqah, 17 kali setelah kata al-Qital. 5 kali setelah kata al-Hasr, al-dhar dan al-nafar, 2 kali setelah kata al-musibah, 7 kali setelah al-jihad, 3 kali setelah kata al-hijrah dan 4 kali setelah kata al-Hijrah dan al-Jihad.


Fundamentalisme Islam

Reidentifikasi Akar Kausatif Fundamentalitas Pergerakan Ummat

Ade Muzaini Aziz


Prolog

Konflik berkepanjangan antara Palestina (Arab) dan Israel membuat banyak kalangan, ummat Islam khususnya, menyadari urgensitas upaya restrukturisasi sistem global. Secara aksiomatis, proses restrukturisasi ini mengharuskan praupaya lain dalam bentuk dekonstruksi tatanan dunia guna mengeliminasi hegemoni politik-kultur suatu wilayah (baca: bangsa/negara) atas wilayah lain. Kesadaran kolektif ini meyakini hegemoni sebagai virus utama yang menghalangi usaha tercapainya independensi dan mengakibatkan keharustundukan suatu komunitas dibawah cambuk determinan yang digenggam oleh komunitas lain.




Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul

Kalau pewarisan dengan 'ashabah itu terjadi ketika fardh tidak menghabiskan seluruh harta pusaka, maka 'aul adalah kelebihan fardh atas harta pusaka. Kata itu diambil dari kata 'ala -ya 'ulu - 'awlan yang berarti lebih. Atau, kata itu diambil dari kata 'awl yang berarti al-mayl (kecenderungan). Di antaranya, kata itu digunakan dalam firman Allah swt, "Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (an ta'ulu)" (QS. an-Nisa' [4]: 3). Seakan-akan faridhah itu adalah keaniayaan karena kecenderungan pada kejahatan terhadap para pemilik saham dengan dengan membebankan kekurangan terhadap mereka. Atau, kata itu diambil dari kata 'awl yang berarti mengangkat. Seperti dikatakan, 'alat an-naqah dznabaha (unta itu mengangkat ekornya) hal itu disebabkan terangkatnya fardh karena bertambahnya saham. Bagaimanapun, 'aul itu merupakan lawan dari ta'shib.


Bahaya Politisasi Agama


Seringkali kita mendengar atau membaca bahwa agama pada hakikatnya merupakan kumpulan wahyu Ilahi, yang dijadikan oleh para pemeluknya sebagai pedoman moral dan panduan etik untuk memayungi masalah-masalah keduniaan. Sebagai kumpulan wahyu, agama memiliki kebenaran mutlak dan bukan kebenaran relatif atau kebenaran nisbi sebagaimana halnya pikirian-pikiran yang muncul dari otak manusia.




Kesaksian dalam Talak


Di antara yang membedakan Syi’ah Imamiyah dari mazhab-mazhab lainnya adalah pendapat Imamiyah bahwa kesaksian dua orang yang adil merupakan syarat dalam jatuhnya talak. Jika tidak ada dua orang saksi yang adil maka talak itu tidak sah. Hal ini ditentang oleh para fukaha yang lain
Syekh ath-Thusi berkata, "Setiap talak yang tidak disaksikan oleh dua orang Muslim yang adil, walaupun terpenuhi syarat- syarat lainnya, adalah tidak sah. Hal ini ditentang oleh semua fukaha lain dan tidak seorang pun di antara mereka yang menganggap keharusan adanya saksi."


Jika seseorang telah berbuat sesuatu yang menjadikan kecil sahabatnya, maka dia itu bukanlah sahabat. Dia adalah musuh yang harus dihindari. Yang sedikit demi sedikit ingin memisahkan dengan kita dengan sahabat yang lain. Ada suatu rancangan yang tidak diketahui. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Jika ada orangnya, dia besar-besarkan. Jika tidak ada dia jelek-jelekkan. Dia tikam sahabatnya sendiri dari belakang. Seperti pengecut. Inilah musuh yang paling sulit untuk di endus keberadaannya. Jadi berhati-hatilah. Mungkin saat ini sahabat yang lain yang dia jelekkan, tapi tidak menutup kemungkinan besok kita yang akan menjadi korbannya. Dia tidak bisa disebut dengan sahabat. Akan tetapi parasit, ya  parasit. Yang hanya ingin besar namanya di depan kita, juga di depan orang banyak. Dia ingin menguasai segalanya. Tidak perduli dengan yang lain. Asal namanya baik dia akan melakukan apa saja. Dia akan melakukan apa saja demi kehormatannya. Walaupun harus mengorbankan sahabat-sahabatnya. Dia hanya berpikir bahwa sahabat itu mudah dicari. Padahal dia sangatlah salah. Untuk mendapatkan sahabat itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Beda dengan teman. Kalau hanya sebatas teman, mungkin dalam hitungan detik bisa didapatkan. Tapi tidak dengan sahabat.



PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
            Mungkin semua orang, jika ditanyakan “tahukah anda politik?”, mereka akan menjawab “ya tentu”. Namun dari kebanyakan ini, belum tentu mereka mengerti dan paham politik yang sebenarnya. Untuk itu kami mahasiswa semester V Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah sebagai pemakalah tertarik untuk menjadikan tema ini sebagai bahan kajian dalam makalah Filsafat Hukum kali ini.
2.      Rumusan Masalah
            Dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
a.       Politik
b.      Filsafat Hukum
c.       Hubungan Politik dan Filsafat Hukum

3.      Tujuan Penelitian
            Makalah ini kami buat bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendetail mengenai Politik, Filsafat Hukum, Hubungan Politik. Agar tidak terjadi kerancuan dikemudian hari dalam memahami konsep dari 3 hal yang akan kami bahas ini. Sebagai mahasiswa Hukum, bukan tidak mungkin untuk mempelajari Politik, karena adanya keterkaitan antara Hukum dan Politik. Untuk itu kami sengaja mengupas 3 bahan kajian ini dalam perspektif Filsafat.
Jumat, 08 November 2013


PENDAHULUAN
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana hukum islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk transaksi ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum di dapat dalam kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fukoha klasik telah mengkaji fiqih muamalah secara secara atomistik, dimana para fukoha langsung masuk kedalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa memutuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati perjanjian-perjanjian khusus tersebut. Dalam kitan-kitab fiqih, para fuqoha klasik langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa-menyewa, serikat atau persekutuan usaha.
Untuk menjawab kebutuhan diatas, maka ahli-ahli hukum islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam zaman di modern ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqoha klasik tersebut. Hal ini semakin beralasan, karena hukum islam di bidang muamalat ini semakin mempunyai arti yang penting, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya. Hal ini tentunya menuntut penjastifikasian dari aspek syariah.
Dalam konteks indonesia, perkembangan terakhir dari sistem hukum nasional adalah adanya upaya untuk memperluas aturan formal hukum islam kedalam bidang muamalah. Utusan ini telah dikukuhkan dengan diundangkannya undang-undang No. 3/2006 tentang peradilan agama yang memperluas yurisdiksinya. Perluasan yurisdiksi tersebut dapat dilihat pada pasal 49 yang menyatakan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa memeutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, yakni kegiatan atau usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
Sementara itu, aspek yang paling penting dari fiqih muamalah dalam kaitannya dengan ekonomi islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentukan akad. Tanpa memutuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi yurisdiksinya peradilan agama tersebut.
1.      KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:

A.     Pengertian Ijtihad

Dari segi bahasa,Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah.
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun secara umum adalah
عَمَلِيَّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ فيِ الشَّرِيْعَةِ
Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Penulisan
Negara memiliki otoritas atau kekuasaan tertinggi yang membuat dan melaksanakan hukum atau Undang-undang. Otoritas itu kemudian disebut pemerintah sebagai alat kelengkapan Negara yang merupakan kekuasaan yang terorganisir. Pemerintah itulah kemudian yang bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan di dalam dan di luar Negara. Berdasarkan tanggung jawab tersebut, maka Negara harus memiliki kekuatan militer atau kendali atas angkatan bersenjata, dan memiliki kekuasaan legislatif atau perangkat pembuat hukum dan undang-undang, serta harus memiliki kekuasaan financial atau kemampuan untuk menggalang dana yang cukup dari masyarakat untuk membiayai pertahanan Negara dan penegakan hukum yang dibuat atas nama Negara. Dan secara singkat, Negara harus memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang dikenal dengan tiga kekuasaan dalam pemerintahan.[1] Dan juga dikenal sebagai prinsip trias politica dalam pilar demokrasi.
Tiga kekuasaan pemerintah ini merupakan tiga kekuasaan politik yang berperan dalam pelaksanaan kekuasaan kedaulatan sebuah Negara modern. Dan ketiga kekuasaan politik Negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling independen dan berada dalam posisi yang sejajar antara satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga Negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Disisi lain ketiganya saling berhubungan erat satu sama lain, bahkan dibeberapa Negara bisa saja hubungannya lebih erat daripada di Negara yang lainnya, walaupun di beberapa Negara tersebut banyak perbedaan dalam sistem kekuasaan dan konstitusi serta sistem demokrasinya.
Keamanan dan perdamaian dalam sebuah Negara yang menjadi tanggung jawab pemerintah tersebut juga tidak terlepas dari peran warga negaranya masing-masing, dari sebab itu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan dalam suatu negara dilakukan upaya perwujudan kedaulatan rakyat (kekuasaan waragnegara) atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara dalam mewujudkan tanggung jawabnya, dan upaya perwujudan kedaulatan rakyat tersebut disebut dengan istilah demokrasi.
Jika dikaitkan dengan Negara, maka ukuran Negara yang berasas demokrasi itu harus terdapat 6 (enam) hal dalam satu Negara tersebut. Yaitu: 1) konstotusional; 2) peradilan yang bebas; 3) pemilihan umum yang bebas; 4) bebas menyatakan pendapat dan berserikat; 5) adanya tugas-tugas oposisi; dan 6) adanya pendidikan civics.[2]
Dari ukuran tersebut jelas bahwa salah satu bentuk demokrasi adalah pemilihan umum (PEMILU). Melalui sistem pemilihan umum ini, rakyat mempunyai hak yang sebebas-bebasnya untuk menentukan sendiri pilihannya, baik itu dalam pemilihan umum presiden maupun pemilu legislatif yang nantinya akan memimpin dan menempati lembaga-lembaga perwakilan suatu Negara.
Dalam ilmu politik, pemilihan umum adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan politik tersebut baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif hingga pemerintahan daerah. Dalam Pemilu, para pemilih disebut konstituen. Para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye kepada konstituen. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan sampai menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan kemudian disosialisasikan kepada para pemilih. Dari situ pemilihan umum merupakan langkah awal terbentuknya suatu proses demokratisasi suatu Negara dimana indikatornya bisa dilihat dari beragamnya partai-partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Banyaknya partai politik yang muncul juga akan meyebabkan banyaknya ideologi yang kemudian menjadi dasar pemikiran mereka dalam memainkan peran politiknya.
Salah satu Negara modern yang menganut sistem demokrasi adalah Perancis. Sebuah Negara yang tritorial metropolitannya terletak dibelahan bumi Eropa Barat, dan berbatasan dengan Belgia, Luksemburg, Jerman, Swiss, Italia, Monako, Andorra dan Spanyol.[3] Dan menurut sejarah, Perancis telah menjadi salah satu kekuatan terbesar dunia sejak pertengahan abad ke-17. Di abad ke-18 dan 19, Perancis membuat salah satu imperium kolonial terbesar saat itu, membentang sepanjang Afrika Barat dan Asia Tenggara, memengaruhi budaya dan politik daerah.[4]
Berdasarkan pada paparan yang telah disebutkan di atas, maka perlu dipahami seperti apa gambaran demokrasi dalam sistem pemerintahan yang berlaku di Negara Prancis, terutama dalam pemilihan legislatifnya. Karena lembaga legislatif merupakan salah satu kekuasaan yang berperan penting dalam sebuah Negara yang berdaulat, lebih-lebih dalam hubungannya dengan asas demokrasi,[5] hal ini didasarkan pada keberadaan hukum dan Undang-Undang yang diberlakukan dalam sebuah Negara yang tidak terlepas dari keberadaan lembaga legislatif tersebut. Terlebih di Negara Prancis sebagai salah satu Negara modern yang didalam sistem pemerintahannya terdapat tiga kekuasaan (trias politica) yang telah disebutkan sebelumnya.
Dan melihat secara logika, pembuatan hukum selalu dilakukan sebelum pelaksanaan hukum. oleh sebab itu, sekilas dapat dikatakan bahwa lembaga legislatif selalu lebih penting daripada lembaga eksekutif yang menjalankan hukum atau lembaga yudikatif yang berwenang sebagai penghukum terhadap orang-orang yang melanggar hukum. Beranjak dari situlah penulis akan membahas terkait dengan demokrasi yang berkaitan dengan lembaga legislatif di Negara Prancis yang disusun dalam sebuah tulisan kecil berjudul “Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis”, dengan harapan semoga nantinya tulisan kecil ini dapat memberi manfaat serta memperluas khazanah keilmuan bagi penulis pada khususnya, dan umumnya bagi sekalian pembaca. Amiin !
B.     Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini disusun dalam 3 (tiga) Bab, dan masing-masing bab berisikan beberapa sub-sub Bab, yaitu sebagai berikut:
Bab I tentang Pendahuluan, yang meliputi: Latar Belakang Penulisan, Sistematika Penulisan, dan Tujuan Penulisan.
Bab II tentang Pembahasan, yang meliputi: Sistem Pemerintahan Negara Prancis, Lembaga Legislatif Prancis, dan Pemilihan Umum Legislatif Prancis, serta Perbedaan Pemilu Legislatif Prancis dengan Di Indonesia.
Bab III tentang Penutup, yang meliputi: Kesimpulan serta Kritik dan saran.
Kemudian penulis mencantumkan daftar pustaka sebagai rujukan penulis dalam menyusun makalah kecil ini agar para pembaca dapat merujuk kembali pada literatur-literatur yang dipergunakan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci serta pengetahuan/wawasan yang lebih luas.
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
-          Sebagai sumbangsih pemikiran kepada seluruh mahasiswa/i dan sivitas akademika dalam menambah serta memperluas khazanah keilmuan, khususnya terkait dengan sistem pemilu legislatif di Negara Prancis.
-          Sebagai pelajaran bagi penulis dalam menganilisis serta menelaah materi bahasan yang ditugaskan, juga untuk menambah wawasan pengetahuan penulis, khususnya dalam bidang hukum pemilu.
-          Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Pembimbing pada Mata Kuliah Hukum Pemilu. Dll

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sistem Pemerintahan Negara Prancis
Negara Perancis saat ini terkenal dengan konstitusi Republik Kelima, yang disahkan melalui referendum tanggal 28 september 1958.[6] Dan Prancis merupakan sebuah negara Republik dan berbentuk negara kesatuan.[7] Negara kesatuan menurut C. F. Strong merupakan Negara yang memiliki satu pemerintahan pusat, yang cirri-cirinya adalah sebagai berikut:[8]
1.      Supermasi daripada DPR Pusat.
2.      Tidak adanya badan bawahan yang mempunyai kedaulatan.
Negara Perancis merupakan Negara Republik yang menganut sistem pemerintahan semi presidensiil uniter dengan tradisi demokratis yang kuat.[9]
Disebut semi Presidensiil karena  dalam menjalankan roda pemerintahannya di lembaga eksekutif ada dua peminpin, yaitu  Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung dengan hak pilih universal orang dewasa untuk jabatan selama 5 (lima) tahun (sebelumnya 7 tahun), dan seorang Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Presiden.[10] Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan yang presidensiil secara murni dimana Presiden hanya menjalankan pemerintahan seorang diri dengan hanya dibantu oleh kabinet. [11]
Parlemen Perancis adalah sebuah badan legislatif bikameral yang terdiri dari Majelis Nasional (Assemblée Nationale) dan Senat Tidak Berpendapat (Perliament Sovereignity). Deputi Majelis Nasional mewakili konstituensi lokal dan terpilih langsung selama 5 (lima) tahun. Majelis memiliki kekuasaan untuk membubarkan kabinet, dan mayoritas anggota Majelis menetapkan pilihan pemerintah. Senator dipilih oleh dewan pemilih untuk jabatan 6 (enam) tahun (sebenarnya 9 tahun), dan setengah kursi dimasukkan dalam pemilihan setiap 3 (tiga) tahun yang dimulai pada September 2008. Kekuasaan legislatif Senat terbatas; dalam penentangan antara kedua pihak, Majelis Nasional memiliki perkataan terakhir, kecuali untuk hukum konstitusional dan lois organiques (hukum yang disediakan langsung oleh konstitusi) dalam beberapa hal. Pemerintah memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan agenda Parlemen. Kemudian politik Perancis ditandai oleh dua pengelompokkan yang saling menentang secara politik: pertama sayap kiri, dipusatkan di sekitar Partai Sosialis Perancis, dan lainnya sayap kanan, sebelumnya dipusatkan pada Rassemblement pour la République (RPR) dan sekarang Persatuan untuk Gerakan Rakyat (UMP). Cabang eksekutif kebanyakan terdiri dari anggota UMP.[12]
Jadi, dalam republic Perancis, parlemen dapat membubarkan kabinet sehingga pihak mayoritas menjadi penentu pilihan pemerintah. Walaupun demikian, Presiden tidak dipilih oleh parlemen tetapi dipilih secara electoral college yang terdiri dari wakil-wakil daerah / kota.
Dalam menjalankan sistem pemerintahan di perancis, kabinet yang anggotanya terdiri dari dewan - dewan menteri berada dibawah kepemimpinan Perdana Menteri. Sedangkan Presiden bersama dengan Sidang Nasional dan Parliement Sovereignity  akan mengangkat Dewan Konstitusi. Dewan Konstitusi ini anggotanya terdiri dari 9 orang yang tugas utamanya adalah mengawasi ketertiban dalam proses pemilihan presiden dan parlemen serta mengawasi pelaksanaan referendum.[13]
Konstitusi yang dianut oleh Negara Perancis adalah konstitusi tertulis. Namun bila dibandingkan dengan negara-negara yang lain, konstitusi Republik Perancis ini lebih regid (lebih kaku). Hal ini disebabkan karena konstitusi itu mewajibkan adanya prosedur khusus untuk merubah Undang-Undang Dasarnya,[14] dan karena Terjadi pemisahan kekuasaan yang jelas antara legislatif yang ada di tangan parlemen, Eksekutif di tangan Presiden, dan Yudicial di tangan badan kehakiman.
Mengenai Badan Kehakiman, para hakim ini diangkat oleh eksekutif dan terbagi menjadi dua. Yaitu Peradilan Kasasi (Court of Casation) atau Mahkamah Agung yang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan perkara-perkara hukum privat,[15] dan Peradilan Hukum Administrasi. Dalam perkara-perkara yang rumit dan berat, penanganannya akan dilakukan oleh Tribunal des Conflits.
B.     Lembaga Legislatif Prancis
Lembaga legislatif adalah kekuasaan pemerintah yang mengurusi atau menangani pembuatan hukum, sejauh hukum tersebut memerlukan kekuatan Undang-Undang (statutory force).[16] Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Lembaga legislatif ini merupakan bagian terpenting dalam organ Negara konstitusional modern. Oleh sebab itu, beberapa cara pengklasifikasian Negara mempergunakan lembaga legislatif sebagai dasar klasifikasi, tetapi sebagian besar di antaranya tidak terlalu berhasil.
Pengklafikasian lembaga legislatif yang terbentuk di beberapa Negara modern didasarkan pada 2 (dua) cara, yaitu parlemen satu majelis dan parlemen dua majelis. Dan pada umumnya Negara kesatuan menemukan bahwa tujuan legislatifnya dapat sepenuhnya tercapai dengan parlemen satu majelis.[17]
Pertimbangan penting berikutnya adalah peran yang dimainkan oleh rakyat dalam proses legislatif lewat fungsinya sebagai pemilih wakil-wakil rakyat (konstituen), dengan menjalankan sarana seperti referendum dan inisiatif. Jadi, ada 3 (tiga) pendekatan untuk mengklasifikasikan konstitusi dari sudut pandang legislative, yaitu:[18]
Pertama, legislatif dapat dibagi menurut sistem pemilihan yang dipergunakan untuk memilih anggota majelis rendah (Lower House), atau satu-satunya majelis dalam sistem unikameral. Dalam persoalan ini muncul dua persoalan tentang hak suara dan konstitusi (daerah pemilihan).
Kedua, legislatif dapat dibagi menurut bentuk majelis tinggi (upper house) pada sistem bikameral. Maksudnya adalah berdasarkan apakah majelis tinggi itu non pemilihan atau hasil pemilihan (atau dipilih sebagian).
Dan ketiga, harus diperhatikan bahwa beberapa konstitusi kontemporer memberikan pemilihan kekuasaan, dalam berbagai keadaan, untuk melaksanakan pemeriksaan oleh rakyat secara langsung terhadap tindakan legislative (direct popular check).
Selanjutnya bentuk konstituensi memberikan dasar pembedaan lebih lanjut dari sudut pandang sistem pemilihan di antara Negara-negara konstitusional yang sudah ada. Pembedaan ini terletak di antara Negara-negara yang konstituensinya menghasilkan satu orang (atau paling banyak dua orang) dengan Negara-negara yang konstituensinya menghasilkan beberapa anggota. Konstituensi yang terakhir ini umumnya dikaitkan dengan inovasi demokrasi yang dikenal sebagai perwakilan proporsional (proportional representation). Perwakilan proporsional bertujuan untuk menjamin perwakilan kaum minoritas yang ditempat lain mungkin tidak memiliki suara dalam majelis terpilih.
Di Republik Prancis, inovasi demokrasinya adalah perwakilan proporsional, dan Lembaga legislatif di Republik Prancis sebagai salah satu Negara kesatuan terbentuk melalui sistem parlemen satu majelis.
Dalam Republik Prancis pada tahun 1919 sampai 1927, konstituensinya hanya sekumpulan konstituensi yang letaknya berdekatan dan tadinya terpisah-pisah. Sedangkan rakyat Prancis sebelum tahun 1919 memilih melalui arrondisement (subdivisi daerah administratif), setelah selama 8 (delapan) tahun sebelumnya mereka memilih lewat department – Provinsi (suatu sistem yang dikenal sebagai scrutiny de liste). Sejak Republik ketiga, Prancis sudah mencoba kedua metode ini secara bergantian. Dan pada tahun  terakhir Republik ketiga, Prancis kembali pada konstituensi satu anggota (single member constituency) hanya untuk menghidupkan kembali bentuk voting-kelompok untuk memilih Majelis Sementara  yang membuat naskah konstitusi Republik keempat. Kemudian untuk pemilihan umum (Pemilu) berikutnya pada tahun 1951, Prancis memasukkan sistem aliansi partai yang sangat kompleks. Barulah setelah Republik kelima, Prancis kembali ke sistem konstituensi satu anggota, tetapi dengan kondisi scond ballot (pemilihan kedua).[19]
C.    Pemilihan Umum Legislatif Prancis
1.      Keterlibatan Partai Politik
Berbicara mengenai pemilihan umum, salah satu hal yang harus menjadi bahasan mendasar adalah mengenai keterlibatan partai politik dalam pemilihan umum tersebut. Partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemilihan umum sebuah negara. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Partai politik pun kemudian berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik serta sebagai sarana pengatur konflik.
Dilihat dari banyaknya partai politik yang terlibat dalam pemilihan umum, sistem pemilihan umum pun dibedakan atas tiga jenis, yaitu one party system (sistem satu partai), two party system (sistem dua partai), dan multiparty system (sistem banyak partai). Dalam hal ini, Republik prancis sebagai salah satu Negara berdaulat modern tidak jauh berbeda dengan Negara Indonesia yang menjunjung tinggi asas-asas demokrasi sangat menghargai peran penting partai politik sebagai salah satu unsur keberhasilan pembangunan masyarakat. Pasalnya, dalam pemilihan umum, partai politik menjadi sarana rakyat untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintahan yang sedang dan akan berkuasa.[20]
Dalam Republik Perancis, keikutsertaan partai politik merupakan hal yang sangat diperhitungkan. Partai politik turut menentukan seberapa besar keberhasilan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Dan walaupun selalu ada satu atau dua partai yang berkuasa, sistem multipartai tetap menjadi pilihan utama di Prancis. Socialist Party (Parti Socialiste) dan Union for a Popular Movement (Union pour un Mouvement Populaire atau UMP) merupakan dua partai yang berkuasa di Perancis. Namun, kehadiran partai-partai kecil cukup berpengaruh dalam sistem pemilihan umum di Perancis. Partai-partai kecil tersebut, misalnya Ligue Communiste Révolutionnaire (LCR) yang dipimpin oleh Olivier Besancenot, Parti Radical de Gauche (PRG) yang dipimpin oleh Jean-Michel Baylet, Parti Communiste Français (PCF) yang dipimpin oleh Marie-George Buffet, serta Mouvement pour la France (MPF) yang dipimpin oleh Philippe de Villiers, dan lain sebagainya.[21]
2.      Sistem Pemilu
Pemilihan umum yang baik sangat ditentukan oleh seberapa bagus sistem pemilihan umum yang diterapkan. Sistem pemilihan umum yang diterapkan turut pula menentukan seberapa besar partisipasi politik masyarakat di dalam pemilihan umum tersebut.
Sistem pemilihan umum di Perancis menggunakan sistem proporsional (perwakilan rakyat) serta bertujuan untuk memilih Presiden Perancis dan anggota legislatif sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Dan Presiden-lah yang kemudian akan membentuk kabinet yang akan membantunya dalam menjalankan pemerintahan. Sistem proporsional di Prancis ini juga di pakai di Indonesia.
Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dari sistem ini, antara lain:
a)      dalam sistem proporsional, basis pemilihan wilayah (biasanya propinsi) tidak ditentukan oleh jumlah penduduknya sama atau tidak;
b)      dalam sistem proporsional, ukuran daerah pemilihan besar (di Indonesia propinsi), sehingga jumlah daerah pemilihan menjadi lebih sedikit;
c)      dalam sistem proporsional, batasan daerah tetap, kerena tak bergantung pada perubahan jumlah penduduk;
d)     dalam sistem proporsional, setiap daerah pemilih (wilayah) punya beberapa wakil secara proporsional;
e)      dalam sistem proporsional, calon bebas, tidak harus putra daerah;
f)       dalam sistem proporsional, semua suara dihitung secara proporsional, alias tidak ada suara yang hilang;
g)      dalam sistem proporsional, partai kecil tetap eksis.
3.      Jenis Pemilu
Berbeda dengan di Indonesia yang mempunyai 3 (tiga) jenis pemilihan umum (pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah), maka pemilihan umum di Perancis dibedakan atas empat jenis, yaitu:[22]
Pertama, Élections Municipales
Pemilihan umum jenis ini biasanya ditujukan untuk memilih le maire dan les conseillers municipaux. Le maire adalah sebutan untuk walikota, sedangkan le conseiller municipal ini merupakan pemimpin commune yang ada di Perancis (setingkat desa di Indonesia, tetapi bukan desa).
Keduanya (le maire dan le conseiller municipal) dipilih untuk masa jabatan selama 6 (enam) tahun.
Kedua, Élections Régionales
Pemilihan umum jenis ini biasanya ditujukan untuk memilih les conseilles régional. Le conseilles régional merupakan pemimpin sebuah région (setingkat provinsi di Indonesia, tetapi bukan provinsi).
Le conseiller régional biasanya dipilih untuk masa jabatan 6 (enam) tahun juga.
Ketiga, Élection Legislatives
Pemilihan umum jenis ini biasanya ditujukan untuk memilih les députés. Le députe adalah sebutan untuk anggota legislatif di Perancis.
Le députe biasanya dipilih untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
Dan keempat, Élections Présidentielles
Pemilihan umum jenis ini ditujukan untuk memilih Presiden Perancis (le Président de la République francaise).
Presiden Perancis dipilih untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
D.    Persamaan dan Perbedaan Sistem Pemilu Legislatif Prancis Dengan Di Indonesia
1.      Persamaan
Beberapa persamaan antara Pemilu di Indonesia dengan di Perancis adalah sebagai berikut:[23]
-          Di Indonesia dan Prancis, partai politik terbentuk berdasarkan ikatan-ikatan primordial (suku, agama, bahasa), sebagai akibat kemajemukan kedua negara tersebut. Implikasinya, pemilihan umum di kedua negara ini memungkinkan partisipasi rakyat yang sangat tinggi.
-          Indonesia dan Perancis sama-sama menganut multiparty system atau sistem banyak partai (walaupun tetap ada satu atau dua partai yang menjadi pemenang dan berkuasa).
-          Indonesia dan Perancis sama-sama menganut sistem pemilu yang proporsional (berdasarkan perwakilan rakyat).
2.      Perbedaan
Adapun perbedaan antara pemilu legislatif di Prancis dengan di Indonesia adalah sebgai berikut:[24]
-          Indonesia dan Perancis memiliki jenis pemilihan umum yang berbeda. Indonesia memiliki 3 jenis pemilihan umum (pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan kepala daerah), sedangkan Perancis memiliki 4 jenis pemilihan umum (élections municipales, élections régionales, élections legislatives dan élections présidentielles).
-          Tambahan pula, di Indonesia, Presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan; sedangkan di Perancis, presiden bertindak sebagai kepala negara (kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri/le premier ministre). Hal ini sangat jelas terlihat karena Indonesia menganut sistem presidensial, sedangkan Perancis menganut sistem semi-presidensial.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari paparan makalah yang telah disampaikan, dapat di pahami bahwa sistem Pemilu Legislatif di Republik Prancis tidak terlalu jauh berbeda dengan Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia.
Negara Perancis saat ini terkenal dengan konstitusi Republik Kelima, yang disahkan melalui referendum tanggal 28 september 1958. Dan Prancis merupakan sebuah negara Republik dan berbentuk negara kesatuan. Dan Negara Perancis merupakan Negara Republik yang menganut sistem pemerintahan semi presidensiil uniter dengan tradisi demokratis yang kuat.
Selanjutnya Parlemen Perancis adalah sebuah badan legislatif bikameral yang terdiri dari Majelis Nasional (Assemblée Nationale) dan Senat Tidak Berpendapat (Perliament Sovereignity).
Kemudian dalam sistem pemilu legislative di Republik Prancis, banyak terdapat peramaan dengan di Indonesia, demikian juga dengan perbedaannya sebagaimana yang telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya.
B.     Kritik dan Saran
Melihat sistem pemilu legislatif Indonesia yang memiliki banyak persamaan dengan sistem pemilu legislatif Republik Prancis, yang salah satunya sama-sama bersifat multipartai, akan tetapi di Prancis yang ikut serta dalam pemilihan tidak terlalu banyak seperti Indonesia, sehingga legislatif dan eksekutif berjalan seirama. Dengan demikian agenda eksekutif berjalan dengan baik.



Daftar Pustaka
Daud Busrah, Abu, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan Konstitusi Sembilan Negara, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987
De Cruz, Peter, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law dan Sosialist Law, Jakarta: Penerbit Nusa Media, 2010
Strong, C. F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern : Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008, Cet-2
http://id.wikipedia.org/wiki/Perancis, di akses pada hari Rabu, 21 desember 2011, jam 10.38 Wib.
http://carapedia.com/sistem_pemerintahan_negara_perancis_info219.html, di akses pada Hari Kamis, 22 desember 2011, jam 01.53 wib.
http://adhelfz.blogspot.com/2008/05/tugas-tpp-eemanuel-susento.html, diakses pada Hari Selasa, 22 desember 2012, jam 11.34 wib.



[1] C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern : Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Cet-2, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), hal. 10-11.
[2] Abu Daud Busrah, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan Konstitusi Sembilan Negara, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), hal. 12.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Perancis, di akses pada hari Rabu, 21 desember 2011, jam 10.38 Wib.
[4] ibid
[5] Busrah, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan Konstitusi Sembilan Negara, hal. 15.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Perancis, di akses pada hari Rabu, 21 desember 2011, jam 10.38 Wib.
[7] http://carapedia.com/sistem_pemerintahan_negara_perancis_info219.html, di akses pada Hari Kamis, 22 desember 2011, jam 01.53 wib.
[8]  Busrah, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan Konstitusi Sembilan Negara, hal. 13.
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Perancis, di akses pada hari Rabu, 21 desember 2011, jam 10.38 Wib.
[10] ibid
[11] http://carapedia.com/sistem_pemerintahan_negara_perancis_info219.html, di akses pada Hari Kamis, 22 desember 2011, jam 01.53 wib.
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Perancis, di akses pada hari Rabu, 21 desember 2011, jam 10.38 Wib.
[13] http://carapedia.com/sistem_pemerintahan_negara_perancis_info219.html, di akses pada Hari Kamis, 22 desember 2011, jam 01.53 wib.
[14] C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, hal. 93.
[15] Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law dan Sosialist Law, (Jakarta: Penerbit Nusa Media, 2010), hal. 108.
[16] C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, hal. 11.
[17] Ibid, hal. 94.
[18] Ibid, hal. 94-95.
[19] Ibid, hal. 97.
[20] http://adhelfz.blogspot.com/2008/05/tugas-tpp-eemanuel-susento.html, diakses pada Hari Selasa, 22 desember 2012, jam 11.34 wib.

[21] http://adhelfz.blogspot.com/2008/05/tugas-tpp-eemanuel-susento.html, diakses pada Hari Selasa, 22 desember 2012, jam 11.34 wib.
[22] ibid
[23] http://adhelfz.blogspot.com/2008/05/tugas-tpp-eemanuel-susento.html, diakses pada Hari Selasa, 22 desember 2012, jam 11.34 wib.
[24] http://adhelfz.blogspot.com/2008/05/tugas-tpp-eemanuel-susento.html, diakses pada Hari Selasa, 22 desember 2012, jam 11.34 wib.
Share

Share

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail