Senin, 11 November 2013


PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
            Mungkin semua orang, jika ditanyakan “tahukah anda politik?”, mereka akan menjawab “ya tentu”. Namun dari kebanyakan ini, belum tentu mereka mengerti dan paham politik yang sebenarnya. Untuk itu kami mahasiswa semester V Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah sebagai pemakalah tertarik untuk menjadikan tema ini sebagai bahan kajian dalam makalah Filsafat Hukum kali ini.
2.      Rumusan Masalah
            Dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
a.       Politik
b.      Filsafat Hukum
c.       Hubungan Politik dan Filsafat Hukum

3.      Tujuan Penelitian
            Makalah ini kami buat bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendetail mengenai Politik, Filsafat Hukum, Hubungan Politik. Agar tidak terjadi kerancuan dikemudian hari dalam memahami konsep dari 3 hal yang akan kami bahas ini. Sebagai mahasiswa Hukum, bukan tidak mungkin untuk mempelajari Politik, karena adanya keterkaitan antara Hukum dan Politik. Untuk itu kami sengaja mengupas 3 bahan kajian ini dalam perspektif Filsafat.





BAB II
PEMBAHASAN

I.                   Politik
            Pemahaman orang Yunani tentang “politik” boleh dikatakan amat demikian luas. Politik itu sendiri berasal dari bahasa mereka sendiri yang diartikan sebagai “negara-kota” (polis), dan Aristoteles (384-322SM) merupakan orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang “manusia yang pada dasarnya adalah binatang politik”.[1]

            Antara abad keenam belas sampai awal abad kedua puluh, “politik” diartikan secara lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang dipahami orang-orang Yunani. Jean Bodin (1530-1596), seorang filosof politik Prancis, memperkenalkan istilah “ilmu politik” (science politique). Tetapi kemudian definisi politik yang lebih formal dan terbatas diperkokoh oleh filosof Prancis lainnya, yaitu Montesquieu (1689-1755), yang mengemukakan bahwa semua fungsi pemerintahan dapat dimasukkan dalam katagori legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[2] Istilah ini diterima oleh sebagian besar ahli ilmu politik sejak 1950-an, samar-samar mengakui bahwa dewan perwakilan rakyat, lembaga eksekutif, dan peradilan ada tidak dengan sendirinya, oleh karena itu mereka tidak dapat bekerja secara bebas baik oleh satu dan lainnya maupun dengan organisasi politik lainnya dalam masyarakat.
            Politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[3]
            Sedangkan secara etimologi politik berasal dari bahasa Yunani yaitu τα πολιτικά / politika (yang berhubungan dengan negara). Dengan akar katanya adalah πολίτης / polites (warga negara) dan πόλις / polis (negara kota). Secara etimologi kata politik masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata politis berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata politisi berarti orang-orang yang menekuni bidang politik.
            Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life.[4]
            Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya, atau yang disebut Peter Merkl: “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at is best is a noble quest for a good order and justice)”[5] betapa samar-samar pun tetap hadir sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan politik.
            Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. [6]
            Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan politik, di samping segi-segi yang baik, juga mencakup segi-segi yang negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan sering saling bertentangan, mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu dan marah.[7] Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita acapkali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti dirumuskan oleh Peter Merkl sebagai berikut: “Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches)”. Singkatnya politik adalah perebutan kuasa, tahta dan harta.[8]
A.    Definisi Politik dari Para Ahli
1)      Aristoteles
Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
2)      Ramlan Surbakti (1999:1)
Bahwa definisi politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
3)      Isjwara, (1995:42)
Politik ialah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai tekhnik menjalankan kekuasaan-kekuasaan”.
4)      Kartini Kartono (1996:64)
Bahwa politik dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.
5)      Rod Hague
Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya
6)      Andrew Heywood
Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala komflik dan kerjasama.
7)      Carl Schmidt
Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan - keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak.
8)      Mirriam Budiarjo
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem indonesia dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
9)      Sri Sumantri
Politik adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yang dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik baik suprastruktur politik dan infrastruktur politik.

B.     Konsep-Konsep Dalam Politik
1)        Negara (state).
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Para sarjana yang menekankan negara sebagai inti dari politik (politics), memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan serta bentuk formalnya. Definisi-definisi ini bersifat tradisional dan agak sempit ruang lingkupnya. Pendekatan ini dinamakan Pendekatan Institusional (Institutional Approach). Berikut ini ada beberapa definisi:
a)      Roger F. Soltau misalnya, dalam bukunya Introduction to Politics mengatakan: “Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara… dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan antara negara dan keluarganya serta hubungan antarnegara (Political science is the study of the state, its aim and purposes… the institutions by which these are going to be realized, its relations with its individual members, and others state).”[9]
2)        Kekuasaan (power).
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Pendekatan ini, yang banyak terpengaruh oleh sosiologi, lebih luas ruang lingkupnya dan juga mencakup gejala-gejala sosial seperti serikat buruh, organisasi keagamaan, organisasi kemahasiswaan, dan kaum militer. Pendekatan ini lebih dinamis daripada pendekatan institusional karena memerhatikan proses.[10]
Deliar Noer dalam Pengantar ke Pemikiran Politik menyebutkan: “Ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relative baru. Di luar bidang hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya dalam zaman modern inilah memang kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.”[11]
3)      Pengambilan keputusan (decision making).
Keputusan (decision) adalah hasil dari membuat pilihan antara beberapa alternatif, sedangkan istilah Pengambilan Keputusan (decision making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif mengikat seluruh masyarakat. Keputusan—keputusan itu dapat menyangkut tujuan masyarakat, dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu. Setiap proses membentuk kebijakan umum atau kebijakan pemerintah adalah hasil dari suatu proses mengambil keputusan, yaitu memilih beberapa alternatif yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Misalnya jika Indonesia memutuskan untuk member prioritas kepada pengembangan pertanian (seperti dalam Pelita I), maka hal ini merupakan suatu keputusan yang diambil sesudah mempelajari beberapa alternatif lain misalnya memprioritaskan industri.
4)      Kebijakan (policy, beleid).
Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
Para sarjana menekankan aspek kebijakan umum, menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai beberapa tujuan bersama. Cita-cita bersama ini ingin dicapai melalui usaha bersama, dan untuk itu perlu ditentukan rencana-rencana yang mengikat, yang dituang dalam kebijakan (policies) oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah.
5)        Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Pembagian (distribution) dan alokasi (allocation) ialah pembagian dan penjatahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Sarjana yang menekankan pembagian dan alokasi beranggapan bahwa politik tidak lain dan tidak bukan adalah membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai secara mengikat. Yang ditekankan oleh mereka adalah bahwa pembagian ini sering tidak merata dank arena itu menyebabkan konflik. Masalah tidak meratanya pembagian nilai-nilai perlu diteliti dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kebijakan pemerintah.
Dalam ilmu sosial, suatu nilai (value) adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang mempunyai harga dan oleh karenanya dianggap baik dan benar, sesuatu yang ingin dimiliki oleh manusia. Nilai ini dapat bersifat abstrak seperti penilaian (judgement) atau suatu asas seperti kejujuran, kebebasan berpendapat dan kebebasan mimbar. Nilai juga bersifat konkret (material) seperti rumah, kekayaan dan sebagainya.

C.    Bidang-Bidang Ilmu Politik
Dalam Contemporary Political Science, terbitan UNESCO 1950, Ilmu Politik dibagi dalam empat bidang.
1.      Teori politik:
1)      Teori politik.
2)      Sejarah perkembangan ide-ide politik.
2.      Lembaga-lembaga politik:
1)      Undang-Undang Dasar.
2)      Pemerintah Nasional.
3)      Pemerintah Daerah dan Lokal.
4)      Fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah.
5)      Perbandingan lembaga-lembaga politik.
3.      Partai-partai, golongan-golongan (groups), dan pendapat umum:
1)      Partai-partai politik.
2)      Golongan-golongan dan asosiasi-asosiasi.
3)      Partisipasi warga negara dalam pemerintah dan administrasi.
4)      Pendapat umum.
4.      Hubungan Internasional.
1)      Politik Internasional.
2)      Organisasi-organisasi dan Administrasi Internasional.
3)      Hukum Internasional.[12]

II.    Filsafat Hukum
A.    Pengertian Filsafat Hukum
Filsafat artinya cinta kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan hidup. Namun filsafat dalam arti teknis bukan segala kebijaksanaan hidup, melainkan hanya kebijaksanaan hidup berkaitan dengan pikiran-pikiran rasional.[13]
            Filsafat hukum adalah filsafat, karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Menurut Apeldoorn, filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematis yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berpikir itu sendiri.[14]
            Diantara gejala-gejala yang ditemui manusia dalam hidupnya terdapat hukum. Bila hukum itu menjadi objek filsafat artinya, bahwa dicari makna hukum, sebagaimana nampak dalam hidup kita. Pertanyaan filsafat itu berbunyi: apa makna hukum, melihat segala yang ada? Atau: apa makna hukum sebagai hukum?[15]
            Pengertian lain dari filsafat hukumpun sangat beragam, dapat disebutkan di antaranya:
a.      Filsafat hukum merupakan ilmu. Hal ini dikemukakan oleh para filosof seperti Plato dan Aristoteles. Ilmu di sini diartikan sebagai kegiatan berpikir;
b.        Filsafat hukum berkaitan dengan persoalan nurani manusia sebagaimana dijelaskan oleh Gustav Radbruch. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat yang objeknya khusus hukum. Memang kalau kita hubungkan dengan skema filsafat yang dikemukakan Aristoteles, bahwa filsafat memiliki bagian-bagian sebagai berikut:
1)   Logika
2)   Teoritis (kosmologi), yang meliputi: ilmu pengetahuan alam, matematika, metafisika.
3)   Praktis (etika), yang diatur: norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, norma hukum; dan juga bisa diartikan yang ada hubungannya dengan norma politik dan norma ekonomi.
4)   Poetika (estetika), yang meliputi kesenian, keindahan (pemandangan, lukisan).
            Jika dikaitkan dengan pendapat Aristoteles tersebut, filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat etika. Etika sendiri adalah tingkah laku manusia yang baik atau buruk. Yang erat hubungannya dengan (filsafat) hukum dan skema filsafat tersebut di atas adalah (filsafat) logika dan etika. Logika, mengenal pengertian-pengertian hukum, sedangkan etika adalah tingkah laku manusia yang diatur oleh norma hukum.
c.       Filsafat hukum merupakan filsafat khusus, hal ini dikemukakan oleh Zevenbergen, Jika kita analisa, ada juga filsafat khusus lainnya seperti filsafat agama, kesopanan, dan kesusilaan.[16]

B.     Fungsi Filsafat Hukum
            Fungsi filsafat hukum adalah untuk menempatkan hukum pada tempatnya dalam perspektif yang tepat sebagai usaha manusia untuk menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih layak untuk didiami (Prof Mochtar).
            Pengertian “layak” menggambarkan beliau mendapat pengaruh pandangan Immanuel Kant dengan teori Kategori Imperatif-nya. Arti kategori imperatif adalah beliau membuat kategoris-kategoris dalam hukum. Maksudnya sesuai dengan kedudukan masing-masing subjek hukum yang dilandasi kepentingan mereka. Hal ini mirip juga dengan pengertian Sila ke-5 Pancasila. Dalam arti kedudukan mereka masing-masing merata (bukan sama rata).[17]

C.    Tujuan Filsafat Hukum
            Gustav Radbruch membagi 3 bidang kajian yang menjadi tujuan filsafat hukum untuk mencari, menemukan dan menganalisisnya, yaitu:
1)        Aspek keadilan yaitu menyangkut keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara hak dan kewajiban subjek hukum;
2)        Aspek tujuan keadilan atau finalitas yaitu menentukan isi hukum agar sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan hukum sebagai instrumentalnya;
3)        Aspek kepastian hukum atau legalitas yaitu menjamin bahwa hukum mampu memberikan dan menetapkan hak atas sesuatu dari seseorang sebagai subjek hukum.[18]


D.    Ruang Lingkup Filsafat Hukum
            Dominikus Rato misalnya, dalam bukunya “Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum” membatasi pembahasan filsafat hukum pada beberapa hal esensial seperti:
1)      Keadilan;
2)      Kedaulatan: Tuhan, Negara, Rakyat dan Hukum;
3)      Kekuasaan hukum;
4)      Keteraturan;
5)      Hukum dan Perlindungan HAM;
6)      Keberlakuan hukum dan efektifitas hukum;
7)      Kepastian hukum;
8)      Perlindungan hukum terhadap warga negara.[19]
            Dalam literatur lain, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi (buku Pengantar Filsafat Hukum), pada Bab V menuliskan bahwa beberapa permasalahan yang dikaji filsafat hukum antara lain:
1)      Masalah hukum dan kekuasaan;
2)      Hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat;
3)      Hukum dan nilai-nilai sosial budaya;
4)      Apakah sebabnya orang menaati hukum;
5)      Apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang;
6)      Etika dan kode etik profesi hukum.[20]


III.              Hubungan Politik dan Filsafat
            Ilmu pengetahuan lain yang erat hubungannya dengan ilmu politik ialah filsafat. Filsafat ialah usaha untuk secara rasional dan sistematis mencari pemecahan atau jawaban atas persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta (universe) dan kehidupan manusia. Filsafat menjawab pertanyaan seperti: Apakah asas-asas yang mendasari fakta? Apakah yang dapat saya ketahui? Apakah asas-asas dari kehidupan? Filsafat sering merupakan pedoman bagi manusia dalam menetapkan sikap hidup dan tingkah lakunya.[21]
            Ilmu politik terutama sekali erat hubungannya dengan filsafat politik, yaitu bagian dari filsafat yang menyangkut kehidupan politik terutama mengenai sifat hakiki, asal mula dan nilai (value) dari negara. Negara dan manusia di dalamnya dianggap sebagai sebagian dari alam semesta Dalam pandangan filsuf Yunani Kuno, filsafat politik juga mencakup dan erat hubungannya dengan moral filosofi atau etika (ethics). Etika membahas persoalan yang menyangkut norma-norma baik/buruk, manusia apakah yang boleh dinamakan manusia baik/buruk; apakah yang dinamakan adil/tidak adil. Penilaian semacam ini, jika diterapkan pada politik menimbulkan pertanyaan sebagai berikut: apakah seharusnya tujuan dari negara; bagaimana seharusnya sifat sistem pemerintahan yang terbaik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut; bagaimana seorang pemimpin harus bertindak untuk keselamatan negara dan warganya. Dengan demikian kita sampai pada bidang filsafat politik yang membahas masalah politik dengan berpedoman pada suatu sistem nilai (value system) dan norma-norma tertentu. Contoh dari pandangan bahwa ada hubungan erat antara politik dan etika tercermin dalam karangan filsuf Yunani Plato, Politeia, yang menggambarkan negara yang ideal. Di negara-negara Barat pemikiran politik baru memisahkan diri dari etika mulai abad ke-16 dengan dipelopori oleh negarawan Itali Niccolo Macchiavelli. Akan tetapi di dunia Barat akhir-akhir ini kembali timbul perhatian baru tentang filsafat dengan munculnya buku A Theory of Justice, karangan John Rawls tahun 1971. Rawls memperjuangkan distribusi kekayaan secara adil (equity) bagi pihak yang kurang mampu.[22]


A.    Prolog Teori Hukum
            Ahli teori politik modern akan mendapati keanehan mengapa diskusi atas permasalahan konstitusional murni tertunda sedemikian rupa. Tetapi teori politik Yunani tidak pernah hanya berkisar di seputar kekuasaan konstitusional. Kata Yunani kuno yang kita terjemahkan sebagai konstitusi, politea, juga berarti kewarganegaraan, dan disamping itu juga memiliki kerangka acuan moral yang lebih luas daripada kata “konstitusi” dan “warga negara” yang kita gunakan. Kebalikannya, polis mengacu pada manusia –manusia warga negara- bukan pada sesuatu yang abstrak. Dengan demikian politeia menunjukkan kewarganegaraan yang memiliki partisipasi aktif, bukan sekedar kepemilikan pasif “hak-hak” formal dari seorang warga negara, serta jiwa dan kehidupan polis (kedua metafora tersebut dipergunakan dalam zaman purba). Secara kongruen, dimana teori politik modern mempergunakan perumpamaan mesin atau konstruksi bangunan, teori politik kuno secara tipikal berpikir dalam pengertian organik, lebih suka berbicara tentang sharing (methexix) dan aturan / rule (arche) daripada kedaulatan atau kekuasaan (bia, kratos, ananke).[23]

B.     Teori-Teori Politik
1)      Teori Politik Plato
Filsafat politik yang diuraikan oleh Plato sebagai cerminan teori politik. Dalam teori ini yakni filsafat politik tentang keberadaan manusia di dunia terdiri dari tiga bagian yaitu, Pikiran atau akal, Semangat/keberanian dan Nafsu/keinginan berkuasa.Platomemiliki idealisme yang secara operasional meliputi : Pengertian budi yang akan menentukan tujuan dan nilai dari pada penghidupan etik, Pengertian matematik, Etika hidup manusia yaitu hidup senang dan bahagia dan bersifat intelektual dan rasional, Teori tentang negara ideal, Teori tentang asal mula negara, tujuan negara, fungsi negara dan bentuk negara, Penggolongan dari kelas dalam negara, Teori tentang keadilan dalam negara dan Tori kekuasaan Plato.
2)      Teori Politik Aristoteles
Teori politik Aristoteles bernuansa filsafat politik yang meliputi : Filsafat teoritis, Filsafat praktek dan Filsafat produktif. Teori negara yang dinyatakan sebagai bentuk persekutuan hidup yang akrab di antara warga negara untuk menciptakan persatuan yang kukuh. Untuk itu perlu dibentuk negara kota (Polis). Asal mula negara, Negara dibentuk berawal dari persekutuan desa dan lama kelamaan membentuk polis atau negara kota. Tujuan negara harus disesuaikan dengan keinginan warga negara merupakan kebaikan yang tertinggi. Aristoteles berpendapat sumbu kekuasaan dalam negara yaitu hukum.Oleh karena itu para penguasa harus memiliki pengetahuan dan kebajikan yang sempurna. Sedangkan warga negara adalah manusia yang masih mampu berperan.
3)      Teori Politik Montesquine
Montesquieu terkenal dengan dunia ilmu pengetahan tentang negara, hukum dan kemudian dia mengemukakan state of nature yang diartikan dalam keadaan alamiah kualitas hidup manusia rendah. Teori politik Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan landasan pembangunan teori demokrasi dalam sistem politik yang menekankan adanya CHEK AND BALANCE terhadap mekanisme pembangian kekuasaan. Demokrasi yang dibentuk yaitu demokrasi liberal yang masih mengalami kekurangan. Untuk memantapkan dan menyempurnakan teori demokrasi liberal maka dibutuhkan berbagai unsur-unsur demokrasi liberal untuk mengukuhkan Montesquieu sebagai pencetus demokrasi liberal.[24]
4)      Teori Politik Al Mawardi
Al Mawardi berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Menurutnya, kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecendrungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan negara. Dengan demikian, adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengatur dunia dan mengesahkannya. Dia mendasari teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau formasi, misalnya dengan mempertahankan status quo.[25]


 


BAB III
KESIMPULAN

Politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Atau politik bisa juga diartikan usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dalam politik itu sendiri terdapat lima (5) konsep yaitu:
1.      Negara
2.      Kekuasaan
3.      Pengambilan keputusan
4.      Kebijakan dan
5.      Pembagian atau alokasi
Filsafat hukum adalah filsafat, karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Menurut Apeldoorn, filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematis yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berpikir itu sendiri
Berbagai bidang ilmu bisa dikaitkan dengan filsafat. Begitu juga ilmu politik dan filsafat. Filsafat ialah usaha untuk secara rasional dan sistematis mencari pemecahan atau jawaban atas persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta (universe) dan kehidupan manusia. Filsafat menjawab pertanyaan seperti: Apakah asas-asas yang mendasari fakta? Apakah yang dapat saya ketahui? Apakah asas-asas dari kehidupan? Filsafat sering merupakan pedoman bagi manusia dalam menetapkan sikap hidup dan tingkah lakunya. Ilmu politik terutama sekali erat hubungannya dengan filsafat politik, yaitu bagian dari filsafat yang menyangkut kehidupan politik terutama mengenai sifat hakiki, asal mula dan nilai (value) dari negara. Negara dan manusia di dalamnya dianggap sebagai sebagian dari alam semesta.









[1]  Carlton Clymer Rodee, Carl Quimby Christo, Totton James Ander, Thomas H. Greene, Pengantar Ilmu Politik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan ke-5, 2002, hlm 2.
[2]  Ibid, hlm 3.
[3]  Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[4] Miriam Budiarjo, hlm. 13
[5] Peter H. Merkl, Continuity and Change (New York: Harper and Row, 1967), hlm. 13
[6] Miriam Budiardjo, hlm. 15
[7] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 5
[8] Op. Cit. hlm. 16
[9] Roger F. Soltau, An Introduction to Politics (London: Longmans, 1961), hlm. 4
[10] Miriam Budiardjo, hlm. 18
[11] Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik (Medan: Dwipa, 1965), hlm. 56
[12] UNESCO, Contemporary Political Science, hlm. 4
[13] Dr. Theo Hujibers, Filsafat Hukum, Yogyakarta 2007, hlm 18 (Pustaka Filsafat)
[14] Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya, hlm. 13-14
[15] Tentang makna filsafat dan filsafat hukum lihat a.l. D.F. Scheltens/Bakri Siregar, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta 1984 hlm. 39-45. 9-17
[16] Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat SH., Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung 2012, hlm. 4-5 (Refika Aditama)
[18] Dominikus Rato, hlm. 30
[19] Ibid, hlm. 58
[20] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2010, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, hlm. 76-98
[21] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta 2008, hlm. 27 (PT Gramedia Pustaka Utama)
[22] John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press, 1971)
[23] Rowe dan Schofield, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001), hlm 16
[25] H. Munawir Sjadzali MA, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993 hlm. 63

0 komentar:

Share

Share

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail