Senin, 11 November 2013
Fundamentalisme Islam
Reidentifikasi Akar Kausatif Fundamentalitas Pergerakan Ummat
Ade Muzaini Aziz
Prolog
Konflik
berkepanjangan antara Palestina (Arab) dan Israel membuat banyak kalangan,
ummat Islam khususnya, menyadari urgensitas upaya restrukturisasi sistem
global. Secara aksiomatis, proses restrukturisasi ini mengharuskan praupaya
lain dalam bentuk dekonstruksi tatanan dunia guna mengeliminasi hegemoni
politik-kultur suatu wilayah (baca: bangsa/negara) atas wilayah lain. Kesadaran
kolektif ini meyakini hegemoni sebagai virus utama yang menghalangi usaha
tercapainya independensi dan mengakibatkan keharustundukan suatu komunitas
dibawah cambuk determinan yang digenggam oleh komunitas lain.
Sejak
terkikisnya dominasi dinasti-dinasti Islam di Barat, secara simbolik ditandai
dengan kembalinya Spanyol ke tangan Eropa (Cordova, pada tahun 1236 setelah
Dinasti Muwahhidîn “pulang kampung” ke Afrika Utara, serta Granada yang
tercerabut dari kekuasaan Raja Abi ‘Abdillâh ibn Muhammad pada tahun 1492[1]),
dilanjutkan dengan Renaisans Eropa (paro akhir abad 18), kendali hegemoni
secara logis lambat namun pasti pindah ke tangan Barat. Sejarah gemilang
periode politik klasik Islam semakin menumbuhkan rasa jengah ummat ketika harus
mengakui bahwa hal tersebut adalah bagian dari masa lampau yang sangat kontras
jika dikaitkan dengan kondisi ummat saat ini.
Perasaan
subordinat segera menyelimuti kesadaran kolektif ummat. Namun kolektivitas
kesadaran tersebut tidak mendorong pada kolektivitas responsi ummat. Ditinjau
dari pola responsi, setidaknya ummat terpecah menjadi tiga bagian; pertama,
memilih bersikap damai dengan kenyataan sambil terus intropeksi guna
pengembangan internal, kedua, berjuang keras agar dapat keluar dari
kondisi naif ummat, ketiga, acuh tak acuh dengan kondisi ummat. Segera
timbul pertanyaan: apakah latar belakang yang memotivasi fenomena tersebut?
Guna upaya
pendalaman materi maka sikap golongan pertama dan ketiga di atas sengaja tidak
akan dibahas di sini.
Redefinisi Fundamentalisme Agama; Upaya Klarifikasi Term
Semakin
banyak produk yang dihasilkan oleh para ahli dari upaya mereka dalam memahami
dan mendefinisikan term fundamentalisme justru semakin memberikan banyak materi
dalam usaha identifikasi fenomena tersebut. Karena keterbatasan referensi maka
hanya beberapa pendapat seputar fundamentalisme yang dapat ditampilkan di sini:
1.
Karen Amstrong memandang fundamentalisme sebagai bentuk spiritualitas yang disajikan untuk melawan (embattled),
yang muncul sebagai respon atas krisis yang dirasakan.[2]
Disini nampak apa yang dimaksud Karen adalah bentuk kekhawatiran bahwa
modernitas akan mengikis bahkan memberangus keyakinan (relegius) dan moralitas.
2.
Adapun Bruce Lawrence dalam bukunya Defenders of God:: The Fundamentalist
Revolt Against the Modern Age lebih memilih untuk mendefinisikan
fundamentalisme sebagai usaha penegasan otoritas keagamaan yang holistik dan
absolut, yang tidak memberikan tempat bagi kritisme serta reduksi; usaha ini
diekspresikan lewat tuntutan kolektif agar prinsip-prinsip ketaatan dan etika
spesifik yang diambil dari teks suci secara umum dikenal dan secara legal
dijalankan.[3]
3.
Sedangkan Jeffrey K. Hadden dan Anson Shupe dalam buku mereka Secularization
and Fundamentalism Reconsidered cenderung melihat fenomena fundamentalisme
sebagai sebuah pernyataan terhadap otoritas yang diklaim ulang berlandaskan
tradisi suci untuk digunakan sebagai (obat) penangkal bagi masyarakat yang
telah menyimpang dari tambatan budayanya.[4]
Dari
definisi yang ditawarkan oleh Bruce Lawrence dan Jeffrey K. Hadden serta Amson
Shupe terlihat bahwa mereka memandang fenomena fundamentalisme sebagai sesuatu
yang genuine muncul dan merupakan
sebuah obsesi penegakkan kembali otoritas relegius yang lahir dari
teks-teks yang diyakini suci oleh sebuah komunitas pemeluk agama. Namun
demikian Jeffrey dan Anson tidak menafikan adanya faktor motivasi konteks yang
biasanya berupa degradasi etika. Sedangkan bagi Karen, kelahiran
fundamentalisme tidak lebih dari sekedar manifestasi rasa takut dan frustasi
yang disebabkan oleh krisis identitas yang dirasakan. Adapun agama, yang
diajukan sebagai tameng sekaligus senjata guna upaya pengembalian identitas
yang terkikis, bersifat sekunder di sini.
Definisi
kedua dan ketiga sebenarnya khusus ditawarkan sebagai hasil analisa mereka atas
fundamentalisme Kristen (Protestan). Namun, fundamentalisme sebagai sebuah
kenyataan terbukti berlaku di dalam “agama”, kultur komunitas dan sekte
pemikiran manapun, termasuk Islam.
4.
Ernest Gellner lebih lugas dalam memahami fundamentalisme, yaitu bahwa suatu
agama dipegang kuat secara literal, tanpa kompromi, pelenturan, reintepretasi
maupun pengurangan. [5]
Nampaknya
gagasan tentang fundamentalisme memang sangat elastis, setidaknya label-label
seperti ekstrimisme, radikalisme, integrisme, revivalisme, tradisionalisme,
skripturalisme (literalisme) dan sebagainya sering digunakan untuk mewakili
gejala fundamentalisme yang ada. Terakhir, label Islamisme juga acap kali
dipakai, setidaknya sejak Revolusi Iran meletus di tangan sekte Syiah[6]
(1978-1979) dan kembali dipertegas secara “fantastik” oleh runtuhnya Menara
Kembar World Trade Center di New York.
Sebenarnya,
orisinalitas kelahiran fundamentalisme dari rahim agama (teks suci) masih layak
diperdebatkan. Benarkah tradisi suci keagamaan menuntut para pemeluknya untuk
bertindak konfrontatif, bahkan ekstrim. [7]
Ataukah kelahirannya lebih distimulasi oleh faktor-faktor profan, yaitu
preseden-presenden yang kaitannya dengan dokrin agama masih layak diragukan.
Pertanyaan semacam ini dirasa perlu diajukan mengingat agama, yang diklaim
sebagai produk Tuhan yang Maha Suci lagi Bijaksana, sering dituduh ataupun
dipakai dalam aksi-aksi kekerasan.
Fundamentalisme
Sepanjang Sejarah; Ambiguitas Kausa antara Doktrin Agama dan Kepentingan
Politik
Kripturalisme:
teks (doktrin) suci agama yang dipegang secara amat ketat (tanpa memberikan
ruang hermeneutik), dianggap, setidaknya oleh KH. Abdurrahman Wahid[8]
dan Ernest seperti yang telah terungkap di atas, sebagai biang keladi gerakan
fundamentalis. Banyak pihak memandang bahwa skripturalisme adalah orientasi
yang mengganggu. Para cendekiawan seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun,
Atif Iraqi bahkan Syeikh Yusuf Qardhawi dan banyak lagi, punya persepsi senada
tentang hal ini.
Menurut
Arkoun, mengutip pendapat Abul Hasan al ‘Amiri (w. 992 M) dalam karyanya al
‘Ilâm bi Manâqibil Islâm mengenai sisi bahasa dan sastra dalam al Qur’an,
teks bermuatan sastra yang memiliki ungkapan-ungkapan ekspresif mempunyai
karakter antara lain; pertama, ujaran membutuhkan lambang (ramz)
dan teka-teki (lagz), dengan mengesampingkan istilah eksplisit, kedua,
susunannya umum dan padat dimana sejumlah besar makna tercakup dalam sejumlah
kecil kata, ketiga, makna ujaran tak terpahami dalam dirinya sendiri, ia
berkaitan dengan premis-premis yang semestinya diajukan terlebih dahulu. Dari
sini al ‘Amiri berkesimpulan bahwa hal di atas mengakibatkan terpolarisasinya
usaha memahami teks ke dalam dua kutub, kutub formalis yang mengutamakan bentuk
(syakl) dan kutub esensialis yang mengutamakan isi (madhmûn).[9]
Dari
paragraf tadi, terutama yang berkenaan dengan ketiga karakter teks sastra,
terpaksa harus dikatakan bahwa literalisme tidak lain merupakan sikap reduktif
yang justru membahayakan universalitas teks itu sendiri (dalam hal ini al Qur’an).
Ini belum lagi dikaitkan dengan peran yang dihasilkan oleh interaksi
otoritatif-eksklusif antara para ulama (rijâl d-dîn) dan teks, yang
akhirnya sering kali “membuang” dimensi kultur dan sejarah (profanitas) suatu
teks, padahal, menurut Abu Zaid, wahyu adalah relitas sejarah. [10]
Namun,
apakah layak bila skripturalisme, yang murni bersifat doktrinal (keagamaan),
dijadikan satu-satunya “biang keladi” motivasi kelahiran fundamentalisme.
Menurut Fred Haliday dalam tanggapannya atas revolusi sekte Syi’ah Iran,
sesungguhnya faktor-faktor duniawilah (sosial-politik) yang secara dominatif
lebih melandasi dan mendorong meletusnya revolusi Iran, dibandingkan dengan
faktor (doktrin) agama.[11]
Corak pemikiran Ayatullah Khamaini, pimpinan revolusi dan spiritual Iran,
memang fundamentalistik/tradisionalistik jika dikaitkan dengan klaim yang
berakar pada teks-teks suci, namun jika ditinjau ulang, sesungguhnya struktur
pemikiran Khamaini justru lebih bersandar pada backround sosial
kontemporer dan dialektika politik modern. [12]
Fenomena
Syi’isme modern di atas tidak berbeda jauh dengan periode klasiknya. Doktrin
yang digenggam erat oleh seluruh sub-sekte Syi’ah, yang dikenal dengan an
Nash wa l-Washiyyah (yang memuat doktrin-doktrin atas hak istimewa Khalifah
‘Ali ibn Abiy Thâlib serta keturunannya untuk menduduki kursi kepemimpinan
ummat) baru muncul dan terkonsepsi dengan baik pada masa pemerintahan Ja’far
ibn s-Shâdiq (w. 765 M.) dari hasil usaha seorang pemikir Syi’ah Hisyâm ibn
l-Hakam (w. 805 M.). Ini berarti bahwa doktrin an Nash wa l-Washiyyah lahir
sekitar satu abad lebih pasca wafatnya Imam ‘Ali ra. (w. 661 M.).[13]
Kondisi
politik jugalah yang akhirnya mendorong kemunculan sekte Islam Murji’ah.
Dinasti Umawiy, dengan Mu’âwiyah ibn Sufyân (w. 680 M.) sebagai founding
father-nya, amat menggandrungi sekte ini. Sistem pemerintahan yang terbuka
dan berlandaskan musyawarah yang diperkenalkan oleh para al Khulafâ ar-Râsyidûn
diganti secara semena-mena oleh Mu’âwiyah beserta rezim menjadi kekuasaan
geneologis lagi tiranik. Sikap irjâ’ (penangguhan ketetapan hukum) yang
bernuansa teologis dijadikan pijakan justifikasi politis oleh rezim Mu’awiyah.[14]
Namun sesungguhnya, sikap irjâ’ pada awalnya hanya diterapkan secara
prosedural, sebagai sikap politik kompromistik di kalangan silence majority,
yang memilih untuk bersikap pasif, bahkan diam atas sederet konflik yang
terjadi antara Utsman dan para penentangnya atau antara ‘Ali di satu sisi, dan
‘Aisyah, Mu’awiyah, Talhah serta Zubair di sisi lain.[15]
Akan tetapi, pada babakan sejarah selanjutnya, sikap tersebut diformulasi ulang
sehingga menjadi struktur teologis yang secara spesifik mengacu pada salah satu
sekte teologis Islam, sebagai “usaha negara” untuk menyelamatkan Dinasti Umawiy
dari oposisi aktif. Setidaknya, inilah yang dilakukan Khalifah Marwan ibn Malik
(w. 705 M.) yang sangat lantang mengkampanyekan agenda predeterminismenya (jabariyyah),[16]
karena memang sinkretisasi Jabariyyah-Murji’ah adalah ‘akidah” yang melandasi
usaha penyelenggaraan negara Dinasti Umawiy.[17]
Sengketa
dan disintegrasi politik ummat yang tajam sejak terbunuhnya Khalifah Utsmân
memang membawa konsekwensi-konsekwensi yang begitu besar, tidak hanya
menyangkut kehidupan sosio-politik, namun lebih jauh lagi, integritas sistem
kepercayaan dan teologi ummat tercabik-cabik. Namun pada dasarnya kelahiran
setiap sekte dan aliran selalu lebih bersifat politis ketimbang doktrinal, dan
ini menandai makna penting politik di dalam Islam walaupun pada akhirnya tetap
memiliki bias di dalam konsepsi ketuhanan ummat. Bagi Karen, spekulasi teologi
pada tahun-tahun awal sejarah Islam sering muncul dari perbincangan politik
tentang kepemimpinan dan kekuasaan,[18]
artinya, persoalan politiklah yang justru mengilhami kemunculan perdebatan
teologis tentang pola pengaturan Tuhan atas urusan-urusan manusia.[19]
Dari
fakta-fakta sejarah di atas akhirnya Karen secara generalisir berkesimpulan
bahwa polaritas ummat ke dalam sekte-sekte teologis Islam bersifat highly
political (sangat politis).[20]
Lebih lugas lagi, Haliday memandang bahwa semua hal-hal yang sebanding dengan
kenyataan di atas pada dasarnya hanyalah usaha perebutan kekuasaan. Di saat
kekuasaan telah tergenggam maka prinsip-prinsip Islam kemudian dijadikan
penegas dan peneguh kepentingan rezim penguasa. Kemudian, Jika usaha tersebut
dikaitkan dengan konstelasi politik modern dunia, maka yang demikian itu akan
sangat bersifat nasionalistik.[21]
Realitas
politik ini akan terlihat tidak asing, walaupun juga tidak bisa diwajarkan,
bila disadari bahwa kelahiran Islam pada zaman Muhammad adalah akibat suatu
perjuangan yang juga bersifat politik dengan sisi (etika) keagamaan yang
inheren di dalamnya, dengan tujuan mengembalikan “kedaulatan tertinggi” ke
tangan Tuhan.[22]
Namun sulit diwajarkan karena dalam perjalanan sejarah selanjutnya kekuasaan
sematalah yang justru menjadi ambisi utama, sisi keagamaan (etika) lambat laun
mengikis, untuk tidak dikatakan punah sama sekali. Jikapun agama nampak, ia
telah dengan sedemikian rupa dirubah menjadi kekuatan pragmatis, sebagai
pengatur-pemersatu yang cenderung mengatasi potensi perbedaan. Di sini agama
telah beralih bentuk menjadi sebatas sandi-sandi, lembaga-lembaga yang
perhatiannya tercurahkan untuk mempertahankan keabsahan resmi (status quo).[23]
Dalam
kancah pergulatan politik kontemporer, fundamentalisme Islam sering kali
memberikan harapan-harapan akan kembali tegaknya kehormatan (politik) “Islam”.
Sebagaimana telah difahami sebelumnya, jari-jari Barat sangat kuat menggenggam
segala segmen kehidupan global. Negara-negara Islam (setidaknya merujuk pada
mayoritas warga negara yang muslim), hampir seluruhnya hanya menyandang
predikat bagian dunia ketiga. Sebuah predikat yang cukup untuk menandai
keterpurukan negara-negara tersebut, baik dari segi budaya, ekonomi, politik,
pendidikan, tekhnologi dan lebih jauh lagi, peradaban.
Sikap
vis a vis antara fundamentalisme Islam dan Dunia Barat sangat telanjang
untuk dilihat. Bahkan lebih menukik lagi, Cak Nur memandang bahwa inti ideologi
fundamentalisme Islam adalah anti-Westernisme.[24]
Kenyataan yang “tak bertepuk sebelah tangan” ini sebenarnya merupakan hasil
dari rasa ketakutan yang bersemayam di dalam memori sejarah kedua belah pihak,
baik Islam maupun Barat. Batapa tidak, sebab, menurut Huntington, Islam lah
satu-satunya peradaban yang membuat Barat, setidaknya dua kali, menjadi wilayah
yang semarak dengan gonjang-ganjing dan huru-hara.[25]
Adapun yang terjadi saat ini adalah antitesanya.
Fundamentalisme
dibaca oleh William H. Mcneill sebagai penegasan Islam, apapun bentuk
mazhabnya, berupa penolakan terhadap pengaruh-pengaruh Eropa dan Amerika pada
komunitas lokal, politik serta etika.[26]
Paling tidak, konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung selama lima
dekade lebihlah yang paling memotivasi gerakan radikal ummat. Konflik ini ini
telah begitu menyulut kemarahan, rasa instabil, ketidakpercayaan dan permusuhan
di benak ummat. Dan Barat punya saham yang teramat besar dalam hal ini.
Berdirinya negara Israel tidak lepas dari peran penting Barat. Ditambah lagi
adanya kenyataan bahwa lebih dari $. 3 milyar per tahun mengucur ke kantong
pemerintahan Israel, sebagai bantuan militer dan ekonomi dari pihak pemerintah
federal Amerika[27].
Rasa gundah semakin berkecamuk di tubuh ummat ketika menyaksikan pangkalan
militer Amerika yang masih saja bercokol di Saudi Arabia (kabar terakhir akan
dipindahkan ke Qatar), begitu pula dengan campur tangan Amerika (beserta sekutu
Eropanya) di wilayah Iraq. Ini belum ditambah dengan jari-jari gurita akses
ekonomi, media, budaya, bahkan wacana Dunia Barat yang dirasakan hampir di
seluruh belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Mencoba mencatat sebab-sebab
timbulnya inferioritas (yang kemudian mendorong agresivitas) ummat yang
disebabkan oleh tingkah laku Barat adalah pekerjaan yang menjemukan.
Tanpa
bermaksud mereduksi, semua hal di atas lah yang pada akhirnya, secara logis
maupun historis, mengharuskan dan mempercepat kelahiran fundamentalisme Islam.
Apalagi sejak jatuhnya rezim komunis Uni Soviet (sebagai satu-satunya
pengimbang kekuatan Amerika dan sekutu), konfrontasi Islam-Barat semakin
menjadi-jadi. Inilah kiranya yang akan terus berlangsung, sampai cita-cita
restrukturisasi sistem global menemukan evidensi historisnya.
Epilog
Banyak
pihak, termasuk kalangan internal Islam sendiri, merasa khawatir bila usaha dekonstruksi
sistem global berhasil, akankah hanya mengakibatkan perpindahan hegemoni dari
tangan Barat ke tangan Islam. Walau bagaimanapun, hegemoni tetap hegemoni, di
tangan siapapun ia berada. Sejarah menyaksikan, hegemoni dinasti-dinasti Islam
tidak kalah kejam dengan hegemoni Barat, tetap merupakan episode-episode
sejarah yang tidak dapat terhindar dari darah. Akhirnya, timbul semacam
ambivalensi (dua perasaan yang saling bertentangan) ketika berhadapan dengan
fenomena fundamentalisme. Di satu sisi, fundamentalisme ibarat obor yang
menyulut semangat perjuangan ummat untuk bangkit dari kubang kehinaan dan
ketergantungan di bawah ketiak Barat, bahkan ia secara konkrit telah menempati frontline
perlawanan ummat atas hegemoni Barat. Akan tetapi, di sisi lain fundamentalisme
sering kali berparas terlalu garang, intoleran, otoriter, eksklusif bahkan
ahumanis. Lalu, kapankah like-dislike relationship antara ummat dan
fundamentalisme ini akan berakhir?
Para
sarjana Islam telah banyak melontarkan diskursus-diskursus solusif-alternatif
guna menghindari kenyataan di atas. Wacana semacam Post-Fundamentalisme dan
Teologi Pembebasan-nya Hassan Hanafi, Teologi Humanis-nya Cak Nur, Islam
Liberal-“nya” Kurzman dan banyak lagi, sering diajukan untuk melengkapi sisi-sisi
yang masih terabaikan dalam proses kebangkitan ummat. Efektif dan tidaknya
wacana-wacana tersebut dalam membentuk kesadaran dan pola baru (elegansi)
perjuangan ummat secara global, senantiasa masih dinanti oleh sejarah.
Catatan
kaki
[2]
Redaksi asli dari pernyataan Karen Amstrong sebagai berikut: embattled forms
of spirituality, which have
emerged as a response to a perceived crisis.
(dikutip dalam: http://www.religioustolerance.org/reac_ter9.htm)
[3]
Berikut Bruce Lawrence menulis: the affirmation of religious authority as
holistic and absolute, admitting of neither criticism nor reduction; it is
expressed through the collective demand that specific creedal and ethical
dictates derived from scripture be publicly recognized and legally enforced. (dikutip dalam http://religiousmovements.lib.virginia.edu/nrms/fund.html)
[4]
Berikut Jeffrey K. Hadden and Anson Shupe menulis: a proclamation of
reclaimed authority over a sacred tradition which is to be reinstated as an
antidote for a society that has strayed from its cultural moorings.
(dikutip dalam http://religiousmovements.lib.virginia.edu/nrms/fund.html)
[5]
Ernest Gellner, Post-Modernism, Reason and Relegion, London: 1992, 2
(dikutip oleh Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina,
1996, h. 108)
[6]
Karen Amstrong. Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan, 2001, h. 225.
[7]
Sengaja pemakalah memandang fundamentalisme identik dengan aksi dan tindakan
konfrontatif serta ekstrim, walaupun sesungguhnya pendapat ini masih sangat
rapuh. Setidaknya, itulah pandangan dominatif dunia yang saat ini sulit
digoyahkan. Maka, agar tidak kontra-produktif, pemakalah terpaksa harus
menyerah pada anggapan dunia tersebut, yang bila disadari lebih mendalam hanya
merupakan, mengikuti teori Michel Foucault,
hasil relasi aktif antara wacana dan kekuasaan dominatif. Lagipula, bila
fundamentalisme hanya diartikan secara generik, yaitu paham yang menekankan
usaha individu ataupun kelompok untuk
selalu memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya, maka fundamentalisme bukanlah
sesuatu yang problematis.
[8]
Rubrik harian Kompas, Minggu, 23 September 2001.
[9] M.
Arkoun, Membedah Pemikiran Islam (judul asli Essais Sur La Pensee
Islamique), Bandung: Pustaka, 2000, h. 206.
[10]
Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd ul Khitâb id Dîn, Kairo: Madboli, hh. 97, 99.
[11]
Fred Haliday, Al Islâm wa Khurâfat al Muwâjahah; Ad Dîn was Siyâsah fis
Syarqil Awsath (judul asli Islam & the Myth of Confrontation;
Relegion and Politics in the Middle East), Kairo: Madboli, 1997, h. 52.
[12]
Fred Haliday, Ibid., h. 56.
[13]
Lebih jauh tentang kelahiran dan perkembangan sekte Syiah, khususnya yang
berkenaan dengan doktrin an Nash wa l-Washiyyah, lihat Dr. Muhammad
Imarah, Tayârât al Fikr al Islâmiy, Kairo: Dâr s Syurûq, 1997, hh.
199-208.
[14]
Lebih lanjut tentang irjâ’ dan sekte Murji’ah, lihat Dr. Muhammad
Imarah, ibid., hh. 34, 35.
[15]
Fazlur Rahman, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam (judul asli Revival
and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism), Bandung: Pustaka,
2001, h. 45.
[16]
Fazlur rahman, ibid., h. 39.
[17]
Muhammad Imarah, Al Islâm wa a ts Tsaurah, Kairo: Dâr sy-Syurûq, 1988,
h.235.
[18]
Karen Amstrong, opcit., h. 221.
[19]
Karen Amstrong, opcit., h. 225.
[20]
Lebih lanjut lihat: http://www.mizan.com/beranda/berita291.htm
[21]
Fred Haliday, opcit., h. 142.
[22]
Muhammad Arkoun, Târîkhiyyah l-Fikr l-‘Arabiy l-Islâmiy, Bairut: Markaz
ts-Tsaqâfiy l-‘Arabiy, 1998, h.166.
[24]
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1992, h. 86.
[25]
Samuel P. Huntington, Shadâm l Hadhârât: I’âdat Shan’i n-Nizhâm l-‘Alamiy
(judul asli The Clash of Civilization and the Remaking of World Order),
Kairo: Suthûr, 1999, h. 339.
[26]
William H. Mcneill, Epilogue: Fundamentalism and the World of the 1990’s,
dikutip oleh Samuel P. Huntington, ibid., hal. 345.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
2013
(16)
-
November(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
November(16)
About Me
- Unknown
Labels
Blog Archive
-
▼
2013
(16)
-
▼
November
(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
▼
November
(16)
0 komentar:
Posting Komentar