Senin, 11 November 2013


Fundamentalisme Islam

Reidentifikasi Akar Kausatif Fundamentalitas Pergerakan Ummat

Ade Muzaini Aziz


Prolog

Konflik berkepanjangan antara Palestina (Arab) dan Israel membuat banyak kalangan, ummat Islam khususnya, menyadari urgensitas upaya restrukturisasi sistem global. Secara aksiomatis, proses restrukturisasi ini mengharuskan praupaya lain dalam bentuk dekonstruksi tatanan dunia guna mengeliminasi hegemoni politik-kultur suatu wilayah (baca: bangsa/negara) atas wilayah lain. Kesadaran kolektif ini meyakini hegemoni sebagai virus utama yang menghalangi usaha tercapainya independensi dan mengakibatkan keharustundukan suatu komunitas dibawah cambuk determinan yang digenggam oleh komunitas lain.


Sejak terkikisnya dominasi dinasti-dinasti Islam di Barat, secara simbolik ditandai dengan kembalinya Spanyol ke tangan Eropa (Cordova, pada tahun 1236 setelah Dinasti Muwahhidîn “pulang kampung” ke Afrika Utara, serta Granada yang tercerabut dari kekuasaan Raja Abi ‘Abdillâh ibn Muhammad pada tahun 1492[1]), dilanjutkan dengan Renaisans Eropa (paro akhir abad 18), kendali hegemoni secara logis lambat namun pasti pindah ke tangan Barat. Sejarah gemilang periode politik klasik Islam semakin menumbuhkan rasa jengah ummat ketika harus mengakui bahwa hal tersebut adalah bagian dari masa lampau yang sangat kontras jika dikaitkan dengan kondisi ummat saat ini.

Perasaan subordinat segera menyelimuti kesadaran kolektif ummat. Namun kolektivitas kesadaran tersebut tidak mendorong pada kolektivitas responsi ummat. Ditinjau dari pola responsi, setidaknya ummat terpecah menjadi tiga bagian; pertama, memilih bersikap damai dengan kenyataan sambil terus intropeksi guna pengembangan internal, kedua, berjuang keras agar dapat keluar dari kondisi naif ummat, ketiga, acuh tak acuh dengan kondisi ummat. Segera timbul pertanyaan: apakah latar belakang yang memotivasi fenomena tersebut?

Guna upaya pendalaman materi maka sikap golongan pertama dan ketiga di atas sengaja tidak akan dibahas di sini.

Redefinisi Fundamentalisme Agama; Upaya Klarifikasi Term

Semakin banyak produk yang dihasilkan oleh para ahli dari upaya mereka dalam memahami dan mendefinisikan term fundamentalisme justru semakin memberikan banyak materi dalam usaha identifikasi fenomena tersebut. Karena keterbatasan referensi maka hanya beberapa pendapat seputar fundamentalisme yang dapat ditampilkan di sini:

1. Karen Amstrong memandang fundamentalisme sebagai bentuk spiritualitas yang  disajikan untuk melawan (embattled), yang muncul sebagai respon atas krisis yang dirasakan.[2] Disini nampak apa yang dimaksud Karen adalah bentuk kekhawatiran bahwa modernitas akan mengikis bahkan memberangus keyakinan (relegius) dan moralitas.

2. Adapun Bruce Lawrence dalam bukunya Defenders of God:: The Fundamentalist Revolt Against the Modern Age lebih memilih untuk mendefinisikan fundamentalisme sebagai usaha penegasan otoritas keagamaan yang holistik dan absolut, yang tidak memberikan tempat bagi kritisme serta reduksi; usaha ini diekspresikan lewat tuntutan kolektif agar prinsip-prinsip ketaatan dan etika spesifik yang diambil dari teks suci secara umum dikenal dan secara legal dijalankan.[3]

3. Sedangkan Jeffrey K. Hadden dan Anson Shupe dalam buku mereka Secularization and Fundamentalism Reconsidered cenderung melihat fenomena fundamentalisme sebagai sebuah pernyataan terhadap otoritas yang diklaim ulang berlandaskan tradisi suci untuk digunakan sebagai (obat) penangkal bagi masyarakat yang telah menyimpang dari tambatan budayanya.[4]

Dari definisi yang ditawarkan oleh Bruce Lawrence dan Jeffrey K. Hadden serta Amson Shupe terlihat bahwa mereka memandang fenomena fundamentalisme sebagai sesuatu yang genuine muncul dan merupakan  sebuah obsesi penegakkan kembali otoritas relegius yang lahir dari teks-teks yang diyakini suci oleh sebuah komunitas pemeluk agama. Namun demikian Jeffrey dan Anson tidak menafikan adanya faktor motivasi konteks yang biasanya berupa degradasi etika. Sedangkan bagi Karen, kelahiran fundamentalisme tidak lebih dari sekedar manifestasi rasa takut dan frustasi yang disebabkan oleh krisis identitas yang dirasakan. Adapun agama, yang diajukan sebagai tameng sekaligus senjata guna upaya pengembalian identitas yang terkikis, bersifat sekunder di sini.

Definisi kedua dan ketiga sebenarnya khusus ditawarkan sebagai hasil analisa mereka atas fundamentalisme Kristen (Protestan). Namun, fundamentalisme sebagai sebuah kenyataan terbukti berlaku di dalam “agama”, kultur komunitas dan sekte pemikiran manapun, termasuk Islam.

4. Ernest Gellner lebih lugas dalam memahami fundamentalisme, yaitu bahwa suatu agama dipegang kuat secara literal, tanpa kompromi, pelenturan, reintepretasi maupun pengurangan. [5]

Nampaknya gagasan tentang fundamentalisme memang sangat elastis, setidaknya label-label seperti ekstrimisme, radikalisme, integrisme, revivalisme, tradisionalisme, skripturalisme (literalisme) dan sebagainya sering digunakan untuk mewakili gejala fundamentalisme yang ada. Terakhir, label Islamisme juga acap kali dipakai, setidaknya sejak Revolusi Iran meletus di tangan sekte Syiah[6] (1978-1979) dan kembali dipertegas secara “fantastik” oleh runtuhnya Menara Kembar World Trade Center di New York.

Sebenarnya, orisinalitas kelahiran fundamentalisme dari rahim agama (teks suci) masih layak diperdebatkan. Benarkah tradisi suci keagamaan menuntut para pemeluknya untuk bertindak konfrontatif, bahkan ekstrim. [7] Ataukah kelahirannya lebih distimulasi oleh faktor-faktor profan, yaitu preseden-presenden yang kaitannya dengan dokrin agama masih layak diragukan. Pertanyaan semacam ini dirasa perlu diajukan mengingat agama, yang diklaim sebagai produk Tuhan yang Maha Suci lagi Bijaksana, sering dituduh ataupun dipakai dalam aksi-aksi kekerasan.


Fundamentalisme Sepanjang Sejarah; Ambiguitas Kausa antara Doktrin Agama dan Kepentingan Politik
Kripturalisme: teks (doktrin) suci agama yang dipegang secara amat ketat (tanpa memberikan ruang hermeneutik), dianggap, setidaknya oleh KH. Abdurrahman Wahid[8] dan Ernest seperti yang telah terungkap di atas, sebagai biang keladi gerakan fundamentalis. Banyak pihak memandang bahwa skripturalisme adalah orientasi yang mengganggu. Para cendekiawan seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Atif Iraqi bahkan Syeikh Yusuf Qardhawi dan banyak lagi, punya persepsi senada tentang hal ini.

Menurut Arkoun, mengutip pendapat Abul Hasan al ‘Amiri (w. 992 M) dalam karyanya al ‘Ilâm bi Manâqibil Islâm mengenai sisi bahasa dan sastra dalam al Qur’an, teks bermuatan sastra yang memiliki ungkapan-ungkapan ekspresif mempunyai karakter antara lain; pertama, ujaran membutuhkan lambang (ramz) dan teka-teki (lagz), dengan mengesampingkan istilah eksplisit, kedua, susunannya umum dan padat dimana sejumlah besar makna tercakup dalam sejumlah kecil kata, ketiga, makna ujaran tak terpahami dalam dirinya sendiri, ia berkaitan dengan premis-premis yang semestinya diajukan terlebih dahulu. Dari sini al ‘Amiri berkesimpulan bahwa hal di atas mengakibatkan terpolarisasinya usaha memahami teks ke dalam dua kutub, kutub formalis yang mengutamakan bentuk (syakl) dan kutub esensialis yang mengutamakan isi (madhmûn).[9]

Dari paragraf tadi, terutama yang berkenaan dengan ketiga karakter teks sastra, terpaksa harus dikatakan bahwa literalisme tidak lain merupakan sikap reduktif yang justru membahayakan universalitas teks itu sendiri (dalam hal ini al Qur’an). Ini belum lagi dikaitkan dengan peran yang dihasilkan oleh interaksi otoritatif-eksklusif antara para ulama (rijâl d-dîn) dan teks, yang akhirnya sering kali “membuang” dimensi kultur dan sejarah (profanitas) suatu teks, padahal, menurut Abu Zaid, wahyu adalah relitas sejarah. [10]

Namun, apakah layak bila skripturalisme, yang murni bersifat doktrinal (keagamaan), dijadikan satu-satunya “biang keladi” motivasi kelahiran fundamentalisme. Menurut Fred Haliday dalam tanggapannya atas revolusi sekte Syi’ah Iran, sesungguhnya faktor-faktor duniawilah (sosial-politik) yang secara dominatif lebih melandasi dan mendorong meletusnya revolusi Iran, dibandingkan dengan faktor (doktrin) agama.[11] Corak pemikiran Ayatullah Khamaini, pimpinan revolusi dan spiritual Iran, memang fundamentalistik/tradisionalistik jika dikaitkan dengan klaim yang berakar pada teks-teks suci, namun jika ditinjau ulang, sesungguhnya struktur pemikiran Khamaini justru lebih bersandar pada backround sosial kontemporer dan dialektika politik modern. [12]

Fenomena Syi’isme modern di atas tidak berbeda jauh dengan periode klasiknya. Doktrin yang digenggam erat oleh seluruh sub-sekte Syi’ah, yang dikenal dengan an Nash wa l-Washiyyah (yang memuat doktrin-doktrin atas hak istimewa Khalifah ‘Ali ibn Abiy Thâlib serta keturunannya untuk menduduki kursi kepemimpinan ummat) baru muncul dan terkonsepsi dengan baik pada masa pemerintahan Ja’far ibn s-Shâdiq (w. 765 M.) dari hasil usaha seorang pemikir Syi’ah Hisyâm ibn l-Hakam (w. 805 M.). Ini berarti bahwa doktrin an Nash wa l-Washiyyah lahir sekitar satu abad lebih pasca wafatnya Imam ‘Ali ra. (w. 661 M.).[13]

Kondisi politik jugalah yang akhirnya mendorong kemunculan sekte Islam Murji’ah. Dinasti Umawiy, dengan Mu’âwiyah ibn Sufyân (w. 680 M.) sebagai founding father-nya, amat menggandrungi sekte ini. Sistem pemerintahan yang terbuka dan berlandaskan musyawarah yang diperkenalkan oleh para al Khulafâ ar-Râsyidûn diganti secara semena-mena oleh Mu’âwiyah beserta rezim menjadi kekuasaan geneologis lagi tiranik. Sikap irjâ’ (penangguhan ketetapan hukum) yang bernuansa teologis dijadikan pijakan justifikasi politis oleh rezim Mu’awiyah.[14] Namun sesungguhnya, sikap irjâ’ pada awalnya hanya diterapkan secara prosedural, sebagai sikap politik kompromistik di kalangan silence majority, yang memilih untuk bersikap pasif, bahkan diam atas sederet konflik yang terjadi antara Utsman dan para penentangnya atau antara ‘Ali di satu sisi, dan ‘Aisyah, Mu’awiyah, Talhah serta Zubair di sisi lain.[15] Akan tetapi, pada babakan sejarah selanjutnya, sikap tersebut diformulasi ulang sehingga menjadi struktur teologis yang secara spesifik mengacu pada salah satu sekte teologis Islam, sebagai “usaha negara” untuk menyelamatkan Dinasti Umawiy dari oposisi aktif. Setidaknya, inilah yang dilakukan Khalifah Marwan ibn Malik (w. 705 M.) yang sangat lantang mengkampanyekan agenda predeterminismenya (jabariyyah),[16] karena memang sinkretisasi Jabariyyah-Murji’ah adalah ‘akidah” yang melandasi usaha penyelenggaraan negara Dinasti Umawiy.[17]        

Sengketa dan disintegrasi politik ummat yang tajam sejak terbunuhnya Khalifah Utsmân memang membawa konsekwensi-konsekwensi yang begitu besar, tidak hanya menyangkut kehidupan sosio-politik, namun lebih jauh lagi, integritas sistem kepercayaan dan teologi ummat tercabik-cabik. Namun pada dasarnya kelahiran setiap sekte dan aliran selalu lebih bersifat politis ketimbang doktrinal, dan ini menandai makna penting politik di dalam Islam walaupun pada akhirnya tetap memiliki bias di dalam konsepsi ketuhanan ummat. Bagi Karen, spekulasi teologi pada tahun-tahun awal sejarah Islam sering muncul dari perbincangan politik tentang kepemimpinan dan kekuasaan,[18] artinya, persoalan politiklah yang justru mengilhami kemunculan perdebatan teologis tentang pola pengaturan Tuhan atas urusan-urusan manusia.[19]

Dari fakta-fakta sejarah di atas akhirnya Karen secara generalisir berkesimpulan bahwa polaritas ummat ke dalam sekte-sekte teologis Islam bersifat highly political (sangat politis).[20] Lebih lugas lagi, Haliday memandang bahwa semua hal-hal yang sebanding dengan kenyataan di atas pada dasarnya hanyalah usaha perebutan kekuasaan. Di saat kekuasaan telah tergenggam maka prinsip-prinsip Islam kemudian dijadikan penegas dan peneguh kepentingan rezim penguasa. Kemudian, Jika usaha tersebut dikaitkan dengan konstelasi politik modern dunia, maka yang demikian itu akan sangat bersifat nasionalistik.[21]

Realitas politik ini akan terlihat tidak asing, walaupun juga tidak bisa diwajarkan, bila disadari bahwa kelahiran Islam pada zaman Muhammad adalah akibat suatu perjuangan yang juga bersifat politik dengan sisi (etika) keagamaan yang inheren di dalamnya, dengan tujuan mengembalikan “kedaulatan tertinggi” ke tangan Tuhan.[22] Namun sulit diwajarkan karena dalam perjalanan sejarah selanjutnya kekuasaan sematalah yang justru menjadi ambisi utama, sisi keagamaan (etika) lambat laun mengikis, untuk tidak dikatakan punah sama sekali. Jikapun agama nampak, ia telah dengan sedemikian rupa dirubah menjadi kekuatan pragmatis, sebagai pengatur-pemersatu yang cenderung mengatasi potensi perbedaan. Di sini agama telah beralih bentuk menjadi sebatas sandi-sandi, lembaga-lembaga yang perhatiannya tercurahkan untuk mempertahankan keabsahan resmi (status quo).[23]

Dalam kancah pergulatan politik kontemporer, fundamentalisme Islam sering kali memberikan harapan-harapan akan kembali tegaknya kehormatan (politik) “Islam”. Sebagaimana telah difahami sebelumnya, jari-jari Barat sangat kuat menggenggam segala segmen kehidupan global. Negara-negara Islam (setidaknya merujuk pada mayoritas warga negara yang muslim), hampir seluruhnya hanya menyandang predikat bagian dunia ketiga. Sebuah predikat yang cukup untuk menandai keterpurukan negara-negara tersebut, baik dari segi budaya, ekonomi, politik, pendidikan, tekhnologi dan lebih jauh lagi, peradaban.

Sikap vis a vis antara fundamentalisme Islam dan Dunia Barat sangat telanjang untuk dilihat. Bahkan lebih menukik lagi, Cak Nur memandang bahwa inti ideologi fundamentalisme Islam adalah anti-Westernisme.[24] Kenyataan yang “tak bertepuk sebelah tangan” ini sebenarnya merupakan hasil dari rasa ketakutan yang bersemayam di dalam memori sejarah kedua belah pihak, baik Islam maupun Barat. Batapa tidak, sebab, menurut Huntington, Islam lah satu-satunya peradaban yang membuat Barat, setidaknya dua kali, menjadi wilayah yang semarak dengan gonjang-ganjing dan huru-hara.[25] Adapun yang terjadi saat ini adalah antitesanya.

Fundamentalisme dibaca oleh William H. Mcneill sebagai penegasan Islam, apapun bentuk mazhabnya, berupa penolakan terhadap pengaruh-pengaruh Eropa dan Amerika pada komunitas lokal,  politik serta etika.[26] Paling tidak, konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung selama lima dekade lebihlah yang paling memotivasi gerakan radikal ummat. Konflik ini ini telah begitu menyulut kemarahan, rasa instabil, ketidakpercayaan dan permusuhan di benak ummat. Dan Barat punya saham yang teramat besar dalam hal ini. Berdirinya negara Israel tidak lepas dari peran penting Barat. Ditambah lagi adanya kenyataan bahwa lebih dari $. 3 milyar per tahun mengucur ke kantong pemerintahan Israel, sebagai bantuan militer dan ekonomi dari pihak pemerintah federal Amerika[27]. Rasa gundah semakin berkecamuk di tubuh ummat ketika menyaksikan pangkalan militer Amerika yang masih saja bercokol di Saudi Arabia (kabar terakhir akan dipindahkan ke Qatar), begitu pula dengan campur tangan Amerika (beserta sekutu Eropanya) di wilayah Iraq. Ini belum ditambah dengan jari-jari gurita akses ekonomi, media, budaya, bahkan wacana Dunia Barat yang dirasakan hampir di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Mencoba mencatat sebab-sebab timbulnya inferioritas (yang kemudian mendorong agresivitas) ummat yang disebabkan oleh tingkah laku Barat adalah pekerjaan yang menjemukan.

Tanpa bermaksud mereduksi, semua hal di atas lah yang pada akhirnya, secara logis maupun historis, mengharuskan dan mempercepat kelahiran fundamentalisme Islam. Apalagi sejak jatuhnya rezim komunis Uni Soviet (sebagai satu-satunya pengimbang kekuatan Amerika dan sekutu), konfrontasi Islam-Barat semakin menjadi-jadi. Inilah kiranya yang akan terus berlangsung, sampai cita-cita restrukturisasi sistem global menemukan evidensi historisnya.

Epilog
Banyak pihak, termasuk kalangan internal Islam sendiri, merasa khawatir bila usaha dekonstruksi sistem global berhasil, akankah hanya mengakibatkan perpindahan hegemoni dari tangan Barat ke tangan Islam. Walau bagaimanapun, hegemoni tetap hegemoni, di tangan siapapun ia berada. Sejarah menyaksikan, hegemoni dinasti-dinasti Islam tidak kalah kejam dengan hegemoni Barat, tetap merupakan episode-episode sejarah yang tidak dapat terhindar dari darah. Akhirnya, timbul semacam ambivalensi (dua perasaan yang saling bertentangan) ketika berhadapan dengan fenomena fundamentalisme. Di satu sisi, fundamentalisme ibarat obor yang menyulut semangat perjuangan ummat untuk bangkit dari kubang kehinaan dan ketergantungan di bawah ketiak Barat, bahkan ia secara konkrit telah menempati frontline perlawanan ummat atas hegemoni Barat. Akan tetapi, di sisi lain fundamentalisme sering kali berparas terlalu garang, intoleran, otoriter, eksklusif bahkan ahumanis. Lalu, kapankah like-dislike relationship antara ummat dan fundamentalisme ini akan berakhir?       

Para sarjana Islam telah banyak melontarkan diskursus-diskursus solusif-alternatif guna menghindari kenyataan di atas. Wacana semacam Post-Fundamentalisme dan Teologi Pembebasan-nya Hassan Hanafi, Teologi Humanis-nya Cak Nur, Islam Liberal-“nya” Kurzman dan banyak lagi, sering diajukan untuk melengkapi sisi-sisi yang masih terabaikan dalam proses kebangkitan ummat. Efektif dan tidaknya wacana-wacana tersebut dalam membentuk kesadaran dan pola baru (elegansi) perjuangan ummat secara global, senantiasa masih dinanti oleh sejarah.                              

Catatan kaki


[1] Abdurrahman ‘Ali al Hajjiy, At  Târîkh  al Andalûsiy, Damaskus: Dâr el Qalam, 1998, hh. 472, 568.
[2] Redaksi asli dari pernyataan Karen Amstrong sebagai berikut: embattled forms of spirituality, which          have emerged as a response to a perceived crisis.
 (dikutip dalam: http://www.religioustolerance.org/reac_ter9.htm)
[3] Berikut Bruce Lawrence menulis: the affirmation of religious authority as holistic and absolute, admitting of neither criticism nor reduction; it is expressed through the collective demand that specific creedal and ethical dictates derived from scripture be publicly recognized and legally enforced.  (dikutip dalam http://religiousmovements.lib.virginia.edu/nrms/fund.html)
[4] Berikut Jeffrey K. Hadden and Anson Shupe menulis: a proclamation of reclaimed authority over a sacred tradition which is to be reinstated as an antidote for a society that has strayed from its cultural moorings.
(dikutip dalam http://religiousmovements.lib.virginia.edu/nrms/fund.html)
[5] Ernest Gellner, Post-Modernism, Reason and Relegion, London: 1992, 2 (dikutip oleh Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 108)
[6] Karen Amstrong. Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan, 2001, h. 225.
[7] Sengaja pemakalah memandang fundamentalisme identik dengan aksi dan tindakan konfrontatif serta ekstrim, walaupun sesungguhnya pendapat ini masih sangat rapuh. Setidaknya, itulah pandangan dominatif dunia yang saat ini sulit digoyahkan. Maka, agar tidak kontra-produktif, pemakalah terpaksa harus menyerah pada anggapan dunia tersebut, yang bila disadari lebih mendalam hanya merupakan, mengikuti teori Michel Foucault,  hasil relasi aktif antara wacana dan kekuasaan dominatif. Lagipula, bila fundamentalisme hanya diartikan secara generik, yaitu paham yang menekankan usaha individu ataupun kelompok  untuk selalu memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya, maka fundamentalisme bukanlah sesuatu yang problematis.
[8] Rubrik harian Kompas, Minggu, 23 September 2001.
[9] M. Arkoun, Membedah Pemikiran Islam (judul asli Essais Sur La Pensee Islamique), Bandung: Pustaka, 2000, h. 206.
[10] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd ul Khitâb id Dîn, Kairo: Madboli, hh. 97, 99.
[11] Fred Haliday, Al Islâm wa Khurâfat al Muwâjahah; Ad Dîn was Siyâsah fis Syarqil Awsath (judul asli Islam & the Myth of Confrontation; Relegion and Politics in the Middle East), Kairo: Madboli, 1997, h. 52.
[12] Fred Haliday, Ibid., h. 56.
[13] Lebih jauh tentang kelahiran dan perkembangan sekte Syiah, khususnya yang berkenaan dengan doktrin an Nash wa l-Washiyyah, lihat Dr. Muhammad Imarah, Tayârât al Fikr al Islâmiy, Kairo: Dâr s Syurûq, 1997, hh. 199-208. 
[14] Lebih lanjut tentang irjâ’ dan sekte Murji’ah, lihat Dr. Muhammad Imarah, ibid., hh. 34, 35.
[15] Fazlur Rahman, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam (judul asli Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism), Bandung: Pustaka, 2001, h. 45.
[16] Fazlur rahman, ibid., h. 39.
[17] Muhammad Imarah, Al Islâm wa a ts Tsaurah, Kairo: Dâr sy-Syurûq, 1988, h.235.  
[18] Karen Amstrong, opcit., h. 221.
[19] Karen Amstrong, opcit., h. 225.
[20] Lebih lanjut lihat: http://www.mizan.com/beranda/berita291.htm
[21] Fred Haliday, opcit., h. 142.
[22] Muhammad Arkoun, Târîkhiyyah l-Fikr l-‘Arabiy l-Islâmiy, Bairut: Markaz ts-Tsaqâfiy l-‘Arabiy, 1998, h.166.
[23]  Muhammad Arkoun, opcit., h. 188.
[24] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1992, h. 86.
[25] Samuel P. Huntington, Shadâm l Hadhârât: I’âdat Shan’i n-Nizhâm l-‘Alamiy (judul asli The Clash of Civilization and the Remaking of World Order), Kairo: Suthûr, 1999, h. 339.
[26] William H. Mcneill, Epilogue: Fundamentalism and the World of the 1990’s, dikutip oleh Samuel P. Huntington, ibid., hal. 345.
[27] Lebih lanjut lihat: http://www.religioustolerance.org/reac_ter9.htm



0 komentar:

Share

Share

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail