Jumat, 08 November 2013
UPAYA
HUKUM
Pengertian Upaya hukum, terdiri
dari dua kata yaitu "upaya" dan "hukum", jika diterjemahkan
secara harfiah, maka upaya hukum adalah usaha yang dilakukan berdasarkan hukum.
Pengertian ini jika diperjelas lagi memiliki makna, upaya hukum adalah upaya
yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap putusan
pengadilan melalui jalur hukum sebagaimana ditentukan caranya oleh
undang-undang.
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh
undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu
melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1. BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1. BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
DASAR
HUKUM
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk
daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar
Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951
(Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak
berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura.[1]
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.[2]
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.[2]
TENGGANG
WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14
hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan
putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal
7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek
dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding
telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh
Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan
dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari SEOrang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk SEOrang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari SEOrang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk SEOrang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR
MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2.
KASASI
PENGERTIAN
PENGERTIAN
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang
dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap
suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa
tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.[3]
Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.[3]
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan
hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai
duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat
dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN
MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka
waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud
diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak
terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga
3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3. VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).[4]
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.[5]
Verzet dapat diajukan oleh SEOrang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1. PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. [6]
Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa) pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil (RC) antara lain, sebagai berikut:
1) Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2) Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3) Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.[7]
Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.
ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau SEOrang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1) Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2) Membayar biaya perkara.
3) Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4) Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5) Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7) Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8) Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10)permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)
2. DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).
[1] Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta :Sinar Grafika,1994), hal. 94,
[2] Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek,cet.8.(Jakarta: CV. Mandar Maju,1997), hal.149.
[3] sutantio,op.cit., hal 163.
[4] Supomo, Prof. Dr. , S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita, 1967) hal 39.
[5] Ibid.
[6] R. Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.
[7] R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997), hal.171-172.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga
3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3. VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).[4]
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.[5]
Verzet dapat diajukan oleh SEOrang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1. PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. [6]
Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa) pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil (RC) antara lain, sebagai berikut:
1) Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2) Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3) Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.[7]
Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.
ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau SEOrang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1) Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2) Membayar biaya perkara.
3) Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4) Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5) Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7) Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8) Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10)permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)
2. DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).
[1] Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta :Sinar Grafika,1994), hal. 94,
[2] Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek,cet.8.(Jakarta: CV. Mandar Maju,1997), hal.149.
[3] sutantio,op.cit., hal 163.
[4] Supomo, Prof. Dr. , S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita, 1967) hal 39.
[5] Ibid.
[6] R. Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.
[7] R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997), hal.171-172.
PUTUSAN
1 PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM PUTUSAN
Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di
persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan
adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta
perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah
antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai
putusan.
Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut :
1. Putusan Akhir
- adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan.
- Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :
a. putusan gugur
b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet
c. putusan tidak menerima
d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa
- Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain.
2. Putusan Sela
- adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.
- putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.
- putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja.
- Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang.
- Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir.
- Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya.
- Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir.
- Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan biaya sendiri.
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :
1. Putusan gugur
- adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan
- putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan
- putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :
a. penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu
b. penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah
c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang
d. Tergugat/termohon mohon keputusan
- dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur
- dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara
- tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi
2. Putusan Verstek
- adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan
- Verstek artinya tergugat tidak hadir
- Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut
- Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :
a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu
b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah
c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
d. Penggugat hadir dalam sidang
e. Penggugat mohon keputusan
- dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus verstek.
- Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat
- Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian
- Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek
- Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet)
- Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding
- Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding
- Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding
- Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek
- Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya
- Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat)
- Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat
- Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek
- Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding
- Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
3. Putusan kontradiktoir
- adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak
- dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang
- terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding
Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:
1. Putusan tidak menerima
- yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formil maupun materiil
- Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat
- Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi
- Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstek yang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban
- Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.
- Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir
- Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat
- Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu perkara merupakan suatu putusan akhir
2. Putusan menolak gugatan penggugat
- yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti
- Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili.
3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.
- Putusan ini merupakan putusan akhir
- Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga :
Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut :
1. Putusan Akhir
- adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan.
- Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :
a. putusan gugur
b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet
c. putusan tidak menerima
d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa
- Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain.
2. Putusan Sela
- adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.
- putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.
- putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja.
- Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang.
- Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir.
- Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya.
- Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir.
- Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan biaya sendiri.
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :
1. Putusan gugur
- adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan
- putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan
- putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :
a. penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu
b. penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah
c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang
d. Tergugat/termohon mohon keputusan
- dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur
- dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara
- tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi
2. Putusan Verstek
- adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan
- Verstek artinya tergugat tidak hadir
- Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut
- Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :
a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu
b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah
c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
d. Penggugat hadir dalam sidang
e. Penggugat mohon keputusan
- dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus verstek.
- Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat
- Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian
- Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek
- Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet)
- Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding
- Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding
- Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding
- Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek
- Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya
- Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat)
- Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat
- Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek
- Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding
- Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
3. Putusan kontradiktoir
- adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak
- dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang
- terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding
Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:
1. Putusan tidak menerima
- yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formil maupun materiil
- Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat
- Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi
- Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstek yang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban
- Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.
- Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir
- Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat
- Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu perkara merupakan suatu putusan akhir
2. Putusan menolak gugatan penggugat
- yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti
- Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili.
3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.
- Putusan ini merupakan putusan akhir
- Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga :
Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya
dikabulkan
Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya
ditolak
Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus
dengan tidak diterima
4. Putusan mengabulkan
gugatan penggugat seluruhnya
- putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti
- Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti
- Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat
Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut :
1. Putusan Diklatoir
- yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum
- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau beschiking
- putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan
- putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi
- putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada
2. Putusan Konstitutif
- Yaitu suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.
- Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain
- Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi
- Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan
- Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya
- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan huum tetap
3. Putusan Kondemnatoir
- Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi
- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius
- Putusan kondemnatoir selaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan eksekusi
- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya
- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)
- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk
1. menyerahkan suatu barang
2. membayar sejumlah uang
3. melakukan suatu perbuatan tertentu
4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan
5. mengosongkan tanah/rumah
- putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti
- Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti
- Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat
Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut :
1. Putusan Diklatoir
- yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum
- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau beschiking
- putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan
- putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi
- putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada
2. Putusan Konstitutif
- Yaitu suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.
- Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain
- Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi
- Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan
- Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya
- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan huum tetap
3. Putusan Kondemnatoir
- Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi
- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius
- Putusan kondemnatoir selaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan eksekusi
- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya
- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)
- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk
1. menyerahkan suatu barang
2. membayar sejumlah uang
3. melakukan suatu perbuatan tertentu
4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan
5. mengosongkan tanah/rumah
II.2 PELAKSANAAN PUTUSAN
Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis
pelaksanaan putusan yaitu :
1. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
2. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
3. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap
4. eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang
Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :
1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :
1. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
2. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
3. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap
4. eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang
Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :
1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :
pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat
dilaksanakan lebih dahulu
pelaksanaan putusan provinsi
pelaksanaan akta perdamaian
pelaksanaan Grose Akta
2. Putusan tidak
dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi
peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan agama
3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi
4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, PTA tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :
1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan
2. Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah dikeluarkan apabila :
- tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah
- tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan
3. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
4. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :
- Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi
- Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi
- Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi
- Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :
a. telah berumur 21 tahun
b. berstatus penduduk Indonesia
c. memiliki sifat jujur
5. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi
6. Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :
3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi
4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, PTA tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :
1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan
2. Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah dikeluarkan apabila :
- tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah
- tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan
3. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
4. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :
- Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi
- Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi
- Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi
- Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :
a. telah berumur 21 tahun
b. berstatus penduduk Indonesia
c. memiliki sifat jujur
5. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi
6. Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :
nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi
merinci secara lengkap semua pekerjaan yang
dilakukan
berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan
kedua saksi
pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan,
menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita
Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada
pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eks
penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya
segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya
7. Penjagaan yuridis
barang yang disita diatur sebagai berikut :
Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap
berada di tangan tersita
Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya
sampai pada saat dilakukan penjualan lelang
Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di
tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke
tempat lain
Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam
berita acara sita
Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian,
maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita
8. Ketidak hadiran
tersita tidak menghalangi sita eksekusi.
II.3 TUGAS POKOK HAKIM
Tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (ps. 2 ayat 1 UU. 14/1970). Hakim
menerima perkara, jadi dalam hal sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya perkara
diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara (two kein Klager ist, ist kein Richter;nemo judex sine actori). Sebelum menjatuhkan putusannya hakim harus
memperhatikan serta mengusahakan seberapa dapat jangan sampai putusan yang akan
dijatuhakan nanti memungkinkan timbulnya perkara baru.
Tugas hakim tidak berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi juga
menyelesaikannya sampai pada pelaksanaannya. Tampaklah disini peranan hakim yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (ps 14 ayat 1 UU. 14/1970). Andaikata peraturan hukumnya tidak atau kurang jelas sebagi penegak hukum dan keadilan ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (ps. 27 ayat 1 UU/ 14/1970). Kalau diajukan kepadanya suatu perkara, hakim haruslah pertama-pertama mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut. Setelah hakim berhasil mengkonstatir peristiwanya, tindakan yang harus dilakukannya kemudian ialah mengkualifisir peristiwanya itu. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, dengan perkataan lain : menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir.
Jadi, mengkualifisir pada umumnya berari menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya bersifat logis. Tetapi dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja. Lebih-lebih kalau peraturan hukumnya tidak tegas dan tidak pula jelas. Maka dalam hal ini hakim bukan lagi harus menemukan hukumnya, melainkan menciptakannya sendiri.
Mengkualifisir peristiwa mengandung unsur kreatif seperti yang telah
dikemukakan di atas dan ini sekaligus berarti juga melengkapi undang-undang. Maka oleh
karena itu daya cipta hakim besar sekali peranannya. Ia harus berani menciptakan hukum yang tidak bertentangan dengan keseluruhan sistim perundang-undangan dan yang memenuhi pandangan serta kebutuhan masyarakat atau zaman. Dalam tahap terakhir, sesudah mengkonstatir dan mengkualifisir peristiwa, hakim harus mengkonstituir atau memberi konstitusinya. Kalau dibandingkan kedudukan atau posisi hakim dengan pengacara dan jaksa, maka hakim mempunyai kedudukan yang obyektif, karena ia fungsionaris yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara, tetepi penilaiannya pun adalah obyektif pula karena ia harus berdiri di atas kedua belah pihak dasn tidak bole memihak, sedangkan pengacara kedudukannya adalah subyektif karena ia ditunjuk oleh salah satu pihak untuk mewakili di persidangan dan pernilaiannya pun juga subyektif karena ia harus membela kepentingan yang diwakilinya.Seorang jaksa kedudukannya adalah obyektif karena ia ditunjuk sebagai fungsionaris untuk mengajukan tuduhan dan tuntutan tetpi penilaiannya adalah subyektif karena ia didalam hal ini mewakili negara dalam memelihara ketertiban umum.
II.3 TUGAS POKOK HAKIM
Tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (ps. 2 ayat 1 UU. 14/1970). Hakim
menerima perkara, jadi dalam hal sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya perkara
diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara (two kein Klager ist, ist kein Richter;nemo judex sine actori). Sebelum menjatuhkan putusannya hakim harus
memperhatikan serta mengusahakan seberapa dapat jangan sampai putusan yang akan
dijatuhakan nanti memungkinkan timbulnya perkara baru.
Tugas hakim tidak berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi juga
menyelesaikannya sampai pada pelaksanaannya. Tampaklah disini peranan hakim yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (ps 14 ayat 1 UU. 14/1970). Andaikata peraturan hukumnya tidak atau kurang jelas sebagi penegak hukum dan keadilan ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (ps. 27 ayat 1 UU/ 14/1970). Kalau diajukan kepadanya suatu perkara, hakim haruslah pertama-pertama mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut. Setelah hakim berhasil mengkonstatir peristiwanya, tindakan yang harus dilakukannya kemudian ialah mengkualifisir peristiwanya itu. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, dengan perkataan lain : menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir.
Jadi, mengkualifisir pada umumnya berari menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya bersifat logis. Tetapi dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja. Lebih-lebih kalau peraturan hukumnya tidak tegas dan tidak pula jelas. Maka dalam hal ini hakim bukan lagi harus menemukan hukumnya, melainkan menciptakannya sendiri.
Mengkualifisir peristiwa mengandung unsur kreatif seperti yang telah
dikemukakan di atas dan ini sekaligus berarti juga melengkapi undang-undang. Maka oleh
karena itu daya cipta hakim besar sekali peranannya. Ia harus berani menciptakan hukum yang tidak bertentangan dengan keseluruhan sistim perundang-undangan dan yang memenuhi pandangan serta kebutuhan masyarakat atau zaman. Dalam tahap terakhir, sesudah mengkonstatir dan mengkualifisir peristiwa, hakim harus mengkonstituir atau memberi konstitusinya. Kalau dibandingkan kedudukan atau posisi hakim dengan pengacara dan jaksa, maka hakim mempunyai kedudukan yang obyektif, karena ia fungsionaris yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara, tetepi penilaiannya pun adalah obyektif pula karena ia harus berdiri di atas kedua belah pihak dasn tidak bole memihak, sedangkan pengacara kedudukannya adalah subyektif karena ia ditunjuk oleh salah satu pihak untuk mewakili di persidangan dan pernilaiannya pun juga subyektif karena ia harus membela kepentingan yang diwakilinya.Seorang jaksa kedudukannya adalah obyektif karena ia ditunjuk sebagai fungsionaris untuk mengajukan tuduhan dan tuntutan tetpi penilaiannya adalah subyektif karena ia didalam hal ini mewakili negara dalam memelihara ketertiban umum.
II.4 JALANNYA PERSIDANGAN
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang yang didampingi oleh panitera, membuka sidang dan menyatakan sidsang terbuka untuk umum. Sifat terbuka untuk untuk umum ini merupakan syarat mutlak (ps. Ayat 1 dan 2 UU. 141970). Tehadap terbukanya sidang untuk umum ada pembatasannya yaitu apabila undang-undang menentukan lain atau berdasarkan alasan-alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya (ps. 27 ayat 1 UU No.14 Tahun 1970.29 RO).
Dalam hal ini maka pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup.
Pemeriksaan perkara harus berlangsung dengan hadirnya kedua belah pihak. Kalau salah
satu pihak saja yang hadir, maka tidak boleh dimulai dengan pemeriksaan perkara, tetapi
sidang harus ditunda. Kedua belah pihak harus didengar bersama, kedua belah pihak harus
diperlakukan sama. Selanjutnya hakim harus mengusahakan mendamaikan kedua belah pihak (ps. 130 HIR, 154 Rbg). Apabila mereka berhasil didamaikan, maka jatuhkanlah putusan
perdamaian (acte van vergelijk),yang menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang telah dicapai. Jiak kedua belah pihak tidak berhasil didamaikan, hal itu harus dimuat dalam berita acara. Kemudian dimulailah dengan pembacaan surat gugat (ps. 131 ayat 1, ps. 155 ayat 1 Rbg). Atas gugatan penggugat tergugat diberi kesempatan unutk member jawabannya dimuka pengadilan, baik secara tertulis maupun lisan. Pada prinsipnya pengunduran sidang hanya dibolehkan apabila ada alasan yang sangat mendesak. Penundaan sidang atas permintaan para pihak sering merupakan salah satu taktik untuk mengulur-ulur waktu. Justru inilah yang hendak dicegah oleh pasal 159 ayat 4 HIR (ps. 186 ayat 4 Rbg). Kalau dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat telah diketahui apa yang menjadi pokok sengketa, maka jawab-menjawab dianggap cukup dan dinyatakan selesai oleh hakim dan dimulailah dengan pembuktian.
Penjelasan lebih detail dari uraian yang telah dikemukan diatas
Yang harus dilakukan para hakim terkait dengan tugas pokok :
a. Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan) (ps. 2 ayat 1 UU. 14/1970). Hakim dengan memperhatikan :
1. Mengkonstatir atau membuktikan benar tidaknya peristiwa/fakta yang diajukan para pihak dengan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian, yang diuraikan dalam “duduk perkaranya” serta Berita Acara Persidangan (BAP).
Konstatir itu sendiri adalah :
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang yang didampingi oleh panitera, membuka sidang dan menyatakan sidsang terbuka untuk umum. Sifat terbuka untuk untuk umum ini merupakan syarat mutlak (ps. Ayat 1 dan 2 UU. 141970). Tehadap terbukanya sidang untuk umum ada pembatasannya yaitu apabila undang-undang menentukan lain atau berdasarkan alasan-alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya (ps. 27 ayat 1 UU No.14 Tahun 1970.29 RO).
Dalam hal ini maka pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup.
Pemeriksaan perkara harus berlangsung dengan hadirnya kedua belah pihak. Kalau salah
satu pihak saja yang hadir, maka tidak boleh dimulai dengan pemeriksaan perkara, tetapi
sidang harus ditunda. Kedua belah pihak harus didengar bersama, kedua belah pihak harus
diperlakukan sama. Selanjutnya hakim harus mengusahakan mendamaikan kedua belah pihak (ps. 130 HIR, 154 Rbg). Apabila mereka berhasil didamaikan, maka jatuhkanlah putusan
perdamaian (acte van vergelijk),yang menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang telah dicapai. Jiak kedua belah pihak tidak berhasil didamaikan, hal itu harus dimuat dalam berita acara. Kemudian dimulailah dengan pembacaan surat gugat (ps. 131 ayat 1, ps. 155 ayat 1 Rbg). Atas gugatan penggugat tergugat diberi kesempatan unutk member jawabannya dimuka pengadilan, baik secara tertulis maupun lisan. Pada prinsipnya pengunduran sidang hanya dibolehkan apabila ada alasan yang sangat mendesak. Penundaan sidang atas permintaan para pihak sering merupakan salah satu taktik untuk mengulur-ulur waktu. Justru inilah yang hendak dicegah oleh pasal 159 ayat 4 HIR (ps. 186 ayat 4 Rbg). Kalau dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat telah diketahui apa yang menjadi pokok sengketa, maka jawab-menjawab dianggap cukup dan dinyatakan selesai oleh hakim dan dimulailah dengan pembuktian.
Penjelasan lebih detail dari uraian yang telah dikemukan diatas
Yang harus dilakukan para hakim terkait dengan tugas pokok :
a. Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan) (ps. 2 ayat 1 UU. 14/1970). Hakim dengan memperhatikan :
1. Mengkonstatir atau membuktikan benar tidaknya peristiwa/fakta yang diajukan para pihak dengan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian, yang diuraikan dalam “duduk perkaranya” serta Berita Acara Persidangan (BAP).
Konstatir itu sendiri adalah :
Memeriksa identitas para pihak.
Memeriksa kuasa hukum para pihak jika ada.
Mendamaikan para pihak (mediasi).
Memeriksa syarat-syarat sebagai perkara.
Memeriksa seluruh fakta/peristiwa yang dikemukakan
para pihak.
Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap
fakta/peristiwa.
Memeriksa alat bukti sesuai tata cara pembuktian.
Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dari
bukti-bukti pihak lawan.
Mendengar pendapat atau kesimpulan masing-masing
pihak.
Menetapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang
berlaku.
2. Mengkualifisir
peristiwa/fakta yang terbukti, dengan menilai peristiwa itu ada hubungan hukum
apa, menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatiring,
selanjutnya dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan yang meliputi :
Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara.
Merumuskan pokok perkara.
Mempertimbangkan beban pembuktian.
Mempertimbangkan keabsahan peristiwa/fakta peristiwa
atau fakta hukum.
Mempertimbangkan secara logis. Kronologis dan yuridis
fakta-fakta huku menurut hukum pembuktian.
Mempertimbangkan jawaban keberatan dan
sangkalan-sangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian.
Menumukan hubungan hukum
peristiwa-peristiwa/fakta-fakta yang terbukti dengan petitum.
Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun hukum
yang tidak tertulis dengan data sumbernya.
Mempertimbangkan biaya perkara.
3. Mengkonstituir,
dengan menetapkan hukumnya yang kemudian menuangkan dalam amar putusan
(diktum)/penetapan yang berisi :
Menetapkan hukumnya dalam amar petusan/penetapan.
Mengadili seluruh petitum.
Mengadili tidak lebih dari petitum kecuali Ex
Ofosio.
Menetapkan biaya perkara.
b. Yang harus
dilakukan oleh Ketua Majelis adalah membimbing dan memprakarsai jalannya
persidangan serta mengawasi terhadap pembuatan Berita Acara Persidangan (BAP),
juga bertugas:
Menetapkan hari sidang
Memerintahkan pemanggilan para pihak
Mengatur mekanisme persidangan
Mengambil prakarsa untuk kelancaran persidangan
Mengakhiri sidang.
c. Yang harus
dilakukan oleh majelis adalah menyusun konsep putusan / penetapan perkara yang
ditanganinya, yang bersumber dari hasil pemeriksaan yang dicatat secara lengkap
dalam Berita Acara Persidangan dan berdasarkan BAP tersebut maka dikonsep
putusan/penetapan yang memuat :
Tentang duduk perkaranya, yang menggambarkan
pelaksanaan tugas hakim dalam mengkonstatir kebenaran fakta atau peristiwa yang
diajukan.
Pertimbangan hukum yang menggambarkan pokok pikiran
hakim dalam mengkonstatir fakta-fakta yang telah terbukti tersebut serta
menemukan hukumnya bagi peristiwa tersebut, disini merumuskan secara rinci
kronologis dan hubungan satu sama lain dengan didasarkan pada hukum atau
peraturan perundang-undangan, langsung disebutkan ;
Amar putusan yang memuat hasil akhir sebagai konstitusi
atau penentuan hukum atas peristiwa atau fakta yang telah terbukti ;
d. Minutasi bekas
perkara
Minutasi (minutering ) berkas-berkas perkara, merupakan suatu tindakan yang menjadikan semua dokumen resmi dan sah. Minutasi dilakukan oleh pejabat PA sesuai dengan bidangnya masing-masing, tetapi secara keseluruhan menjadi tanggung jawab hakim yang menangani perkara tersebut. Minutasi meliputi surat-surat sebagai berikut :
Minutasi (minutering ) berkas-berkas perkara, merupakan suatu tindakan yang menjadikan semua dokumen resmi dan sah. Minutasi dilakukan oleh pejabat PA sesuai dengan bidangnya masing-masing, tetapi secara keseluruhan menjadi tanggung jawab hakim yang menangani perkara tersebut. Minutasi meliputi surat-surat sebagai berikut :
Surat gugatan permohonan
Surat kuasa untuk membayar (SKUM)
Penetapan Majelis Hakim (PMH)
Penetapan Hari Sidang (PHS)
Relaas Panggilan
Berita Acara Persidangan (BAP)
Bukti-bukti surat
Penetapan-penetapan hakim
Penetapan putusan akhir
Surat-surat lain dalam berkas perkara.
Proses minutasi sudah dapat dimulai setelah sidang
pertama dan selesai paling lambat 1 bulan setelah perkara diputuskan. Pada saat
sidang ikrar talak, berkas perkara tersebut harus sudah diminutasi . Tanggal
minutasi dicatat dalam register induk pekara yang bersangkutan. Hal-hal yang
terjadi setelah perkara diputus juga harus diminutasi sebagai dokumen resmi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
2013
(16)
-
November(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
November(16)
About Me
- Unknown
Labels
Blog Archive
-
▼
2013
(16)
-
▼
November
(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
▼
November
(16)
0 komentar:
Posting Komentar