Jumat, 08 November 2013


PENDAHULUAN
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana hukum islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk transaksi ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum di dapat dalam kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fukoha klasik telah mengkaji fiqih muamalah secara secara atomistik, dimana para fukoha langsung masuk kedalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa memutuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati perjanjian-perjanjian khusus tersebut. Dalam kitan-kitab fiqih, para fuqoha klasik langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa-menyewa, serikat atau persekutuan usaha.
Untuk menjawab kebutuhan diatas, maka ahli-ahli hukum islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam zaman di modern ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqoha klasik tersebut. Hal ini semakin beralasan, karena hukum islam di bidang muamalat ini semakin mempunyai arti yang penting, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya. Hal ini tentunya menuntut penjastifikasian dari aspek syariah.
Dalam konteks indonesia, perkembangan terakhir dari sistem hukum nasional adalah adanya upaya untuk memperluas aturan formal hukum islam kedalam bidang muamalah. Utusan ini telah dikukuhkan dengan diundangkannya undang-undang No. 3/2006 tentang peradilan agama yang memperluas yurisdiksinya. Perluasan yurisdiksi tersebut dapat dilihat pada pasal 49 yang menyatakan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa memeutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, yakni kegiatan atau usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
Sementara itu, aspek yang paling penting dari fiqih muamalah dalam kaitannya dengan ekonomi islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentukan akad. Tanpa memutuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi yurisdiksinya peradilan agama tersebut.
1.      KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:
a.       Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan tersebut dapatdilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui akad mudharabah maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad musyarakah.
b.      Kerjasama dalam perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapatjan bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.
c.       Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan asset. Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah: 1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa. 2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi. 3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul). Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya. Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan kedalam: 1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas keberadaannya atau segera dapat diperoleh manfaatnya. 2. obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai. Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut: 1. aqad mudharaba Ikatan atau aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta 2. aqad musyarakah Ikatan atau aqad Musyaraka pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha, 3. aqad perdagangan Aqad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi. 4. Aqad Ijarah, adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik Obyek. Ijarah mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena Ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Fiqih Muamalah merupakan ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat). Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan syariah sebagai rujukan berperilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar nilai ilahiyahh.
2.      Akad Dalam Pandangan Hukum Islam
Dalam transaksi jual beli hal paling signifikan menyangkut keabsahan hukum jual beli adalah akad. Akad menentukan sah dan tidaknya jual beli tersebut. Signifikansi akad merupakan prasyarat yang harus di penuhi. Prasyarat yang menuntut sesesorang untuk memahaminya dalam hal transaksi jual beli supaya transaksi yang dilakukannya sah secara hukum Islam.
Tidak sah akadnya setiap transaksi, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksahan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi dua akad sekaligus. Sedangkan aturan-aturan akad tersebut telah ditetapkan dalam hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Maka dari itu diperlukan pemahaman lebih lanjut.


Secara etimologis pengertian akad antara lain berarti:
الرّبط بين اطراف الشيء سواء اكا ن ربطا حسّيّا ام معنويا من جا نب ام من جا نبين
Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara makna, dari satu segi maupun dari dua segi

Pengertian akad secara umum dalam arti luas sama dengan pengertian akad dari segi bahasa, menurut pendapat ulama’ Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كلّ ما عزم االمرّء على فعله سواء صدر باءرادة منفرة كالوقف والاءبراء والطلا ق
واليمين ام احتاج الى اراد تين فى انشائه كا لبيع والايجار والتوكيل ولرّهن
”Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual –beli, perwakilan dan gadai” .
Dalam pengertian khusus sebagaimana dikemukakan oleh ulama’ fiqh[1];
ارتبا ط ايجا ب بقبول على وجه مشروع يثبت اثره فى محله
”Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada obyeknya.”
.kepadamu” qabulnya ” saya beli barangmu”. Dengan demikian, ijab qobul adalah suatu perbuatan pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih sehingga terhindar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjan dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridhaan dan syariat.
Berdasarkan pada akad tersebut, hal ini yang perlu ditinjau lebih jauh mengenai akad transaksi as-Salam dan Istishnah, karena keduanya merupakan dua jenis transaksi yang memprioritaskan pada penggunaan akad dengan penangguhan atau disegerakan pengiriman barang sesuai kesepakatan dalam akad yang menjadi obyek kajian.
1.       Akad Dalam as-Salam
Transaksi salam telah dikenal oleh masyarakat Arab jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Ketika Rasulullah tiba di Kota Madinah setelah Hijrah, beliau mendapati penduduk Madinah telah mengenal dan telah melakukan praktek salam. Bai’ salam hasil kemudian berkembang pada hasil pertanian. Para ulama’ mazhab membolehkan bai’ salam untuk barang apapun selama memenuhi batasan yang di atur oleh syara’. Salam yang menjadi pembahasan syariat dan termasuk dalam kategori muamalah, kemudian menjadi bagian dari hal-hal yang dibolehkan agama dengan terlebih dahulu menetapkan aturan-aturan baku yang mengatur dan menertibkannya.
Pada prakteknya transaksi salam terdapat resiko negatif (gharar) karena ketiadaan barang yang diperjualbelikan pada saat transaksi, tetapi Islam membolehkannya setelah melihat manfaat dan kebutuhan manusia yang besar terhadap hal ini. Para Ulama juga menyebut transaksi salam dengan ‘bai’ul mahawîj’ artinya, jual beli yang telah dihalalkan karena adanya ketergantungan dan saling membutuhkan. Pembeli membutuhkan barang yang diinginkannya dan penjual membutuhkan modal untuk membiayai usaha pengadaan barang atau untuk menafkahi keluarganya dan seterusnya. Hikmah inilah yang menjadikan praktek salam dibolehkan dikecualikan dari jual beli gharar. Karena gharar mengandung (kegelapan), dengan artian seorang pembeli bisa terjerumus dalam kegelapan tersebut sehingga ia tidak bisa melihat atau mengamati barang yang akan dibelinya dengan baik. Oleh karena itu bai’ salam harus jelas kuantitas, kualitas dan waktu penyerahannya. Prinsip kewajiban (kualitas, kuantitas waktu penyerahan) secara jujur sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:
واوفوا الكيل والميزان بالقسظ (الانعم :152)
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil” (al-An’am:153)
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا با لقسطا س المستقيم ذلك خير واحسن تاء ويلا (الاسراء:35)
Dan sempurnakanlah takaran apabila kau menakar, dan timbangklah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (al-Isra’: 35)

a. Definisi Salam[2]:
Salam merupakan bentuk masdar dari kata aslama yang berarti mendahulukan modal. Salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifatnya: barang itu ada di dalam pengakuan (tanggungan) si penjual. Meminjam istilah Ibnu Abbas hutang disini adalah hutang salam. Secara etimologi salam juga diistilahkan dengan salaf (pinjaman tanpa bunga). Istilah salam digunakan oleh penduduk Hijaz, sedangkan kata salaf digunakan oleh penduduk Irak. Kata salam pada hakikatnya lebih khusus dibanding kata salaf, karena salaf digunakan dalam dua hal:
1). Memberikan emas atau perak untuk membayar barang tertentu hingga batas waktu tertentu dengan menaikkan harganya dari harga yang ada. Bentuk yang dimaksud adalah salam
2). Untuk qardh (pinjaman tanpa bunga).
Secara terminologi, salam berarti penjualan barang tertentu tetapi barang tersebut masih dalam tanggungan (ditangguhkan penyerahannya) dan modalnya (ra's al-mâl) dibayar pada saat transakasi. Atau dalam pengertian sederhana, salam adalah transaksi dimana modal dibayar di muka dan barang yang dibeli diterima belakangan, untuk satu jangka waktu yang tertentukan.
b. Hukum Salam
Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar di kalangan para ulama tentang boleh tidaknya praktek salam ini dilakukan. Mayoritas ulama salaf maupun khalaf dari seluruh madzhab fiqh sepakat bahwa salam boleh dan disyariatkan oleh Allah Swt, baik dalam Al Quran maupun lewat penjabaran Nabi Muhammad Saw.
Satu-satunya dalil teks hadits yang digunakan oleh sebahagian ulama seperti Ibnu Musayyib dan lain-lainnya. Diantara dalil-dalil yang menyebutkan kebolehan praktek salam sebagaimana yang disebutkan para ulama fiqh adalah sebagai berikut:
يآ أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه ( البقرة 282)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Ibnu Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam dalam jaminan hingga waktu tertentu telah dihalalkan Allah dalam Al Quran.” Kemudian beliau membacakan ayat ini. Menurut Ibnu Abbas, salam yang terjamin barangnya adalah halal.
Ibnu Abbas Ra. meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw. tiba di Kota Madinah, Beliau mendapati penduduknya telah melakukan praktek salam; memesan barang untuk jangka satu sampai dua tahun. Rasulullah kemudian bersabda:
من أسلف في شيىء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
”Barang siapa melakukan salaf, ia harus melakukannya untuk barang yang berat dan ukurannya, dan untuk jangka waktu yang pasti". (diriwayatkan Bukhari)
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa semua ulama’ sepakat bahwa salam hukumnya boleh dilakukan. Dalam Mausû’ah Al Um, Imam As Syafi’I Ra. berkata mengenai ijma’ ulama tentang kebolehan salam sebagai berikut: “....Salaf atau salam boleh sesuai sunnah Rasulullah Saw. dan atsar serta tidak ada perbedaan di kalangan para ulama, sebagaimana saya ketahui”.
c.  Rukun dan Syarat Salam
1)   Rukun
a). Ada penjual dan pembeli
b). Ada barang dan uang
c). Ada sighat (lafad akad)
Rukun salam menurut Ulama Hanafiyah hanyalah lafadz akad; ijab dan qabul. Mayoritas Ulama menambahkan dalam rukun: Al Aqidan (pelaku transaksi; terdiri dari penjual Al Muslamu Ilaîh dan pembeli atau Al Muslim), Al Muslamu fîh (barang dan tempat penyerahannya) dan Ra’sul mâl (modal atau harga pembayaran).
2)   Syarat-syarat Rukun
Kalau diklasifikasikan syarat-syarat yang dipenuhi dalam transaksi salam sesuai rukun-rukunnya, maka setiap rukun yang ada harus memenuhi beberapa syarat tertentu, sebagai berikut:
a). Syarat Lafadz Aqad[3]
Syarat yang harus dipenuhi dalam aqad salam dapat kita bedakan menjadi dua bagian. Pertama, syarat umum, mencakup syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam setiap akad jual beli dan telah disepakati oleh para ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Ketersambungan aqad
(2) Ijab dan qabul tidak digantung dengan syarat.
Contoh ijab yang digantung misalnya pembeli berkata; “Bila Anakku sehat maka aku akan memesan darimu sebuah lemari es dan kau serahkan dua bulan lagi”.
(3) Kesesuaian antara lafadz qabul dan ijab.
Adapun syarat-syarat khusus pada lafadz aqad salam adalah sebagai berikut:
(1). Ijab hanya boleh dengan menggunakan lafadz salam atau salaf.
Menurut Ulama Syafi’iyah, dan tidak boleh menggunakan lafadz ba’I sebab terjebak pada jual beli sesuatu yang tidak ada (bai’ Al ma’dûm). Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah boleh menggunakan lafadz salam, salaf atau jual beli biasa. Perbedaan ini kemudian akan melahirkan perbedaan hukum dalam menentukan boleh tidaknya barang diserahkan langsung saat akad.
(2) Tidak boleh terdapat syarat khiyâr.
Apabila barang telah didatangkan pada waktu yang telah disepakati maka tidak boleh ada khiyâr (memilih atau meminta ganti). Kecuali bila terdapat cacat dalam barang tersebut dan merusak sifat dan syarat yang telah disepakati.
(3) Disebutkan tempat penyerahan barang bila tempat tersebut hanya dapat dijangkau dengan menggunakan biaya.
(4) Disebutkan waktu penyerahan barang yang diketahui bersama. Menurut Malikiyah minimal 15 hari setelah akad terjadi.
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang wajibnya penyebutan waktu yang diketahui bersama, sebab teks Al Quran dan hadits dengan jelas menyebutkan hal ini. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh menyebutkan masa panen, awal musim gugur, hari kedatangan jama’ah haji, dsb. bila penjual dan pembeli berada pada kota yang sama. Sebab menurut Malikiyah, kata-kata tersebut termasuk dalam kategori waktu yang biasa digunakan dan dimaklumi. Mayoritas ulama tidak membenarkan pendapat ini. Mereka beralasan bahwa waktu-waktu tersebut tidak dapat ditentukan secara pasti, dapat berubah-ubah, sehingga termasuk dalam kategori waktu yang tidak diketahui.
(5)  Menyebutkan sifat-sifat, jenis, bentuk, dan ukuran barang.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh menyebut sifat barang yang tidak mungkin didatangkan penjual. Misalnya si penjual mengatakan “Saya membeli darimu pakaian atau makanan yang paling baik,” dan sebagainya, tanpa menyebutkan sifat-sifat yang membedakannya dengan yang lainnya. Bila terjadi, maka pada saat itu akad cacat, karena penjual tidak akan sanggup mendatangkan barang yang paling baik sebab tidak ada standar yang jelas dan disepakati tentang baik dan buruk suatu benda. Dan apabila pembeli dalam akad hanya mengatakan: “Saya membeli darimu pakaian atau makanan yang baik atau baru,” apabila kemudian terjadi pertentangan setelah barang itu didatangkan, maka cukup memanggil seseorang untuk menilai. Apabila menurut penilaiannya barang tersebut baik atau baru, maka pembeli harus menerimanya.
b). Syarat Al ‘Aqidân[4]
(1). Keduanya secara syariat termasuk orang yang memiliki hak bertransaksi. Al Qadhi Abi Suja’ menyebutkan dalam kitabnya Matnu Al Ghâyah wa At Taqhrîb, bahwa orang yang terhalang haknya untuk melakukan transaksi (Al-Hajr) ada enam golongan. Beliau berkata:
Orang yang terhalang haknya untuk bertransaksi ada enam golongan. (a) Anak kecil, (b) orang gila, (c) orang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, (d) orang bangkrut yang terlilit hutang, (e) orang yang sakit parah tidak boleh menafkahkan lebih dari sepertiga hartanya dan (f) hamba sahaya yang tidak diizinkan berdagang oleh majikannya.

(2) Mayoritas Ulama fiqh mensyaratkan pembeli harus beragama Islam bila yang diperjual belikan adalah budak muslim. Sebab bila pembeli adalah orang kafir maka budak itu akan berada di bawah penguasaan orang kafir dan ini bertentangan dengan ayat Al Quran:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisa:141)
Kecuali budak tersebut adalah ayah atau anak dari pembeli.
Bila penjual adalah seorang yang buta, maka aqad cacat. Tetapi bila yang buta adalah pembeli, maka menurut Ulama Syafi’iyah transaksi tetap sah dengan syarat si pembeli mengetahui sifat-sifat benda yang dipesan; beratnya, jumlahnya, jenisnya da sebagainya. Apakah benda itu pernah dilihatnya sebelum buta, atau diketahui karena pernah didengarnya atau dalam transaksi dia ditemani oleh orang lain (yang tidak buta) yang dipercayainya.
Ulama’ Hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Jumhur fuqaha di atas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yakni sighat akad (ijab dan qabul). Al-aqidain dan mahallul akad bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepat dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal dari sesuatu yang ditegakkannya.
 c). Syarat Barang dan Tempat Penyerahan
Secara umum, segala barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam jual beli biasa diperbolehkan pula untuk diperjual belikan dalam bentuk salam. Berikut beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan dengan barang dan tempat penyerahannya:
(1).  Harus dalam bentuk hutang dalam jaminan penjual.
(2).   Harus merupakan benda yang dapat diidentifikasi secara jelas; mempunyai sifat-sifat tertentu; jenis, sifat, ukuran, kadar, klasifikasi kualitas yang diketahui bersama dan membedakannya dengan barang lainnya.
(3).   Termasuk benda yang mungkin didatangkan ketika tiba masa penyerahannya. Harus diserahkan bukan pada saat akad.
(4).  Mayoritas ulama berpendapat bahwa transaksi penyerahan barang tidak boleh bersamaan dengan saat akad salam. Bila telah bersamaan, maka akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, bila barang sudah ada pada saat akad maka praktek yang terjadi bukan lagi praktek salam tetapi telah berubah menjadi transaksi jual beli biasa, sebab yang membedakan salam dan jual beli hanyalah persoalan waktu penyerahan barang. Kemungkinan kedua, apabila barang belum ada, maka transaksi ini telah terjebak dalam transaksi haram; jual beli barang yang tidak ada (bai’ al ma’dûm).
Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal ini. Mereka mengatakan bahwa penyerahan barang boleh pada saat bersamaan dengan akad bahkan lebih baik. Mereka menafsirkan kalimat “ilâ ajalin musamma” dalam Al Quran dan “ilâ ajalin ma’lûm” dalam hadits Nabi bukan sebagai syarat, tetapi bermakna apabila transaksi menyebutkan waktu maka waktu tersebut diketahui dan disepakati bersama. Adapun yang membedakannya dengan jual beli adalah pada lafadz transaksi.
(5). Tempat penyerahan adalah yang telah disepakati sebelumnya.
Ketika tempat penyerahan barang berubah dari tempat yang telah disepakati tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu, maka salah satu atau kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akad. Tetapi ketika keduanya tidak menyebutkan tempat, maka akad tetap sah menurut mayoritas ulama. Apabila tempat penyerahan barang hanya bisa dicapai oleh salah satu pihak atau keduanya dengan mengeluarkan biaya, maka menurut Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah tempat itu harus disebutkan dalam aqad.
d). Syarat Modal (Ra’sul Mâl)
(1). Harus diserahkan atau dibayar pada saat aqad transaksi, demi menghindari terjadinya jual beli utang dengan utang (bai' ad-dain bi ad-dain ). Malikiyah membolehkan adanya jangka waktu paling lama tiga hari, sebab 3 hari masih dianggap tempo yang dekat dengan waktu transaksi.
(2). Serah terima di tempat aqad, sebelum pelaku transaksi berpisah apakah modal tunai atau hutang.
(3). Jumlah modal yang diserahkan harus diketahui bersama. Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan cukup dengan melihat modal tersebut atau dengan isyarat. Hanafiyah mensyaratkan dihitung untuk memastikan jumlahnya. Hanafiyah juga menambahkan modal tersebut mesti diketahui jenisnya, diperiksa keaslian dan dilihat apakah boleh digunakan atau tidak. Tidak mesti Ra’sul Mâl dalam bentuk uang, tetapi boleh dalam bentuk jasa. Misalnya pembeli berkata; Saya memesan darimu sebuah sepeda motor dalam jangka dua bulan dan sebagai pembayarannya, silahkan kau menempati rumahku selama enam bulan”.
2. Akad Dalam Istishna’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.[5]
Jual beli istishna' merupakan satu bentuk transaksi yang erat kaitannya dengan salam. Dalam hal ini tentang istishna' dan salam, wujud istishna' itu sendiri masih bersangkutan dengan salam, bahkan sebagian besar ulama fiqh klasik mendefinisikan istishna' sebagai bentuk salam yang termodifikasi.
Istishna' berarti meminta kepada pembuat barang untuk dibuatkan barang tertentu dengan ciri-ciri yang tertentu. Transaksi ini merupakan satu akad yang dikembangkan oleh mazhab Hanafiyah, namun mereka sendiri pada dasarnya berselisih pendapat tentang istishna'. Menurut Al-Marwazi dan Muhammad bin Salamah, istishna' tak lain hanyalah berupa janji penjual kepada pembeli. Akan tetapi pendapat yang kuat menurut mazhab mereka bahwa istishna' adalah satu akad yang independen. Adapun ulama non-Hanafiyah (Syafi'i, Maliki dan Hanabilah) berpendapat bahwa istishna' tak lain adalah bentuk dari salam berikut syarat-syaratnya yang berpatokan kepada salam. Istishna’ menyerupai salam, namun istishna’ pembayarannya dapat di muka, dicicil atau di belakang ketika selesai melakukan akad.
Dalam menyikapi akad ini, ulama klasik terbagi kepada dua pendapat. Para Ulama Fiqh Hanafiyah mayoritas membolehkan transaksi istishna' yang berasakan akad salam, mereka juga mensyaratkan syarat-syarat salam pada istishna'. Hanafiyah berpendapat bolehnya istishna' dengan dalil adanya kebutuhan manusia terhadapnya. Selain itu mereka juga berpatokan bahwa Rasulullah saw. pernah minta dibuatkan cincin.
Selain mewajibkan terpenuhinya syarat-syarat salam pada istishna', mazhab Hanafiyah menambahkan tiga syarat khusus yaitu:
a.   Menjelaskan jenis barang, sifat dan kadarnya;
b.   Barangnya memiliki unsur produksi. Barang yang tidak ada unsur
      produksinya tidak dibolehkan;
d.      Tidak memaksakan adanya penundaan yang tertentu. Mereka beralasan bahwa jika waktunya tertentu maka yang terjadi bukanlah istishna' tapi Salam.
Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani tidak menjadikan hal yang ketiga ini sebagai syarat istishna'.
Sementara para Ulama Fiqh non-Hanafiyah berpendapat bahwa istishna' adalah bentuk lain dari salam. Mereka tidak membolehkannya karena istishna' merupakan satu bentuk jual beli barang yang tidak ada (bai' ma'dum). Tetapi menurut Prof. Dr. Ali Syadzily, Mazhab Malikiyah membolehkan jual beli yang menyerupai istishna' dikenal dengan jual beli ahli Madinah (bai' ahli Madinah) dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Pembeli harus melakukan akad dengan yang mempunyai profesi tertentu contohnya tukang roti.
b. Barang yang dibeli belum ada, akan tetapi barangnya bisa dipastikan akan ada setiap hari, karena profesinya menuntutnya untuk selalu menyediakan barang tersebut sehingga pembeli bisa mendapatkan barangnya sesuai jumlah yang disepakati;
c. Akadnya ada dua cara yaitu dengan membayar barang dengan jumlah yang banyak, dan barangnya akan diambil secara berangsur setiap hari atau membelinya secara eceran setiap hari.
Jual beli Istisna’ adalah jenis transaksi yang didasarkan pada kriteria tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam proses pembuatan atau setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus atau mengangsur.
Model usaha istishna’ diperbolehkan oleh jumhur fuqaha, walaupun mereka berbeda pendapat tentang penggabungannya kepada jenis sistem salam, maka pada kondisi ini harus mengikuti persyaratan yang amat sulit karena adanya kemungkinan madharatnya, menyerahkan harga di majelis aqad, menurut jumhur ulama, atau selama tiga hari menurut madzhab Malik.
A. Khiyar Dalam Pandangan Hukum Islam
Khiyar artinya ”Boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan jual beli”. Tujuan dari khiyar menurut syara’ adalah agar kedua orang yang melakukan transaksi jual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena disebabkan salah satu pihak merasa merasa tertipu atau tujuan khiyar untuk menguji kualitas barang yang diperjualbelikan. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi jual beli tersebut dari segi akad tidak sempurna, yang memungkinkan akad untuk membatalkannya. Sedangkan pengertian khiyar menurut Ulama’ Fiqh adalah:
ايكون للمتعاقد الحق في امضاء العقد اوفسخه ان كا ن الخيا ر شرط او رؤ سة او عيب او ان يختار احد البيعين ان كا ن الخيار تعيين
”Suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib atau ru”yan atau hendaklah memilih diantara dua orang jika khiyar ta’yin.
Mengenai jenis khiyar sangat banyak dan diatara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama’ Hanafiyah jenis khiyar adalah 17. Ulama’ Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, khiyar al-taamal dan khiyar Naqis. Ulama’ Syafi’iyah membagi menjadi dua bagian, khiyar at-tasyasi, adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua khiyar naqhisah, yaitu disebabkan karena adanya perbedaan dalam lafad atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya pergantian. Adapun khiyar yang didasarkan pada syarat menurut ulama; Syafi’iyah ada enam belas dan menurut ulama Hanabilah ada delapan macam.
Dari sekian banyak jumlah khiyar, namun yang terkenal menurut jumhur ulama’ ada tiga macam diantarnya adalah:
1. Khiyar Majelis
Dalam pengertiannya khiyar majelis menurut ulama’ fiqh adalah:
ان يكون لاحد العا قدين او لكيلهما او لغير هما الخق في فسخ العقد او امضا ئه خلا ل مدة
معلو مه
Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan keduanya belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad
Khiyar majelis dikenal oleh ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad akan menjadi lazim, jika kedua belah pihak telah berpisah dan memilih. Hanya saja khiyar majelis tidak dapat berada dalam setiap akad. Khiyar mejelis hanya ada pada yang sifatnya pertukaran, seperti jual beli, upah-mengupah dan lainnya.
Menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah khiyar majelis dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar, sebab Allah SWT menyuruh untuk menepati janji, sebagaimana firman-Nya: اوفوا با لعقود (kamu semua harus memenuhi janji) sedangkan khiyar menghilangkan keharusan tersebut. Selain itu akad tidak akan sempurna kecuali dengan adanya saling ridho (rela), sebagaimana firman Allah:
الا ان تكو ن تجا رة عن تراض منكم
Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan engan suka sama suka” (an-Nisa’: 29)
Sedangan keridhoan hanya dapat diketahui dengan jalan ijab dan qabul. Golongan ulama’ ini tidak mengakui terhadap keberadan Khiyar majelis. Bahkan ulama’ Hanafiyah menakwil Hadis tentang keberadaan Khiyar majelis, yaitu:
البيعان بالخيار مالم يتفرقا او يقول احدهما للاخر: اختر (رواه البخاري ومسلم)
“Orang yang berjualbeli berhak khiyar sebelum keduanya berpisah atau salah satunya mengatakan kepada yang lain dengan berkata, pilihlah!”
Khiyar majelis yaitu pembeli dan penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis dibolehkan dalam segala macam jual beli. Sebagaiman Nabi bersabda:
البيعان با لخيار مالم يتفرقا (واه شيخان بخاري ومسلم)
“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.” (Bukhari dan Muslim)
Mereka berpendapat yang dimaksud dua orang yang melakukan akad jual beli adalah orang yang melakukan tawar menawar sebelum akad, untuk berakad atau tidak. Adapun dari maksud berpisah adalah berpisah dari segi ucapan dan bukan badan. Dengan kata lain, bagi yang menyatakan ijab, ia boleh menarik ucapannya sebelum dijawab qobul, sedangkan bagi yang lainnya (penerima) boleh memilih apakah ia akan menerimanya di tempat tersebut atau menolaknya. Namun, menutut Juhaily, takwil tersebut tidak berfaedah sebab yang berakad bebas untuk menerima atau menolak. Dengan demikian orang tidak menerima tidak dapat dikatakan berpisah. Hadis tentang khiyar mejelis tidak dapat dikatakan menyalahi kerelaan (ridho) sebab khiyar mejelis unuk memperkuat adanya kerelaan.
Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat mengenai khiyar mejlis, jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di tempat atau belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan atau meneruskan jual beli. Adapun pengertian dalam berpisah diserahkan kepada adat (tradisi) atau kebiasaan menusia dalam bermuamalah, yakni dapat berjalan dengan baik dengan ketentuan Hadis Sahih di atas.
Jaminan sebuah majelis akan berpengaruh karena pihak yang melakukan transaksi akad jual beli dapat mempertimbangkan mengenai kualitas barang yang telah dilakukan akad dalam satu tempat. Namun, khiyiar majlis ini akan hilang apabila;
a. Keduanya memilih akan meneruskan akad. Apabila keduanya memilih akan meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi, hak yang lain masih tetap.
b. Keduanya terpisah dari tempat jual beli. Artinya terpisah itu ialah menurut kebiasaan. Apabila kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah terpisah, tetaplah jual beli antara keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum terpisah, maka pintu khiyar masih terbuka diantara keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah, maka pintu khiyar masih terbuka diantara keduanya. Kalau keduanya berselisih umpamanya seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum. Yang mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum terpisah.
2. Khiyar Syarat
Khiyar ini dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya, sedangkan menurut ulama fiqh, khiyar syarat adalah
ان يكون لاحد العاقدين اولكيلهما او لغيرهما الحق في فسخ العقد او امضا ئه خلا لمدة معلومة
“Suatu keadaan yang membolehkan salah seseorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua belah pihak yang akad memiliki hak atas pembatasan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan”
Khiyar syarat itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, ”saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tida hari”.
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima ditempat jual beli, seperti barang riba. Ulama’ berpendapat bahwa masa khiyar syarat yang paling lama adalah tiga hari atau tiga malam, terhitung dari waktu akad. Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
انت بالخيار في كل سلعة ابعتها ثلا ث ليال (رواه البيهقي وابن ماجه)
”Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau jual beli selam tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah)
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar. Kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau keduanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dimiliki oleh seorang dari mereka. Misalnya, penjual mengatakan “saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari” karena khiyar yang disyariatkan adalah khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
اذا با يعت فقل : لا خلا بة ولي الخيار ثلاثة ايام (رواه مسلم)
”Jika kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selam tiga hari” (HR. Muslim)
Menurut ulama’ Hanafiah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, khiyar tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah. sepeti pernyataan ”saya beli barang ini dengan khiyar selamanya” perbuatan ini mengandung unsur jalalah (ketidakjelasan). Sebagaimana di dasarkan pada hadis dari Ibnu Umar:
ان رجلا اشتري من رجل بعيرا واشترط عليه الخيار اربعة اياّم فاً بطل رسول الله ص م البيع وقال : الخيار ثلاثة اياّم (رواه عبد الرزّق)
Seseorang laki-laki membeli ekor unta dari laki-laki lainnya dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari, Rasullullah SAW membatalkan jual beli tersebut dan bersabda ”khiyar adalah tiga hari”” (HR. Abdurrazaq)
3. Khiyar Aibi (Cacat)
a. Arti dan landasan
Pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya. Sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya yaitu sudah ada tapi tidak diketahui oleh pembeli atau terjadi setelah akad yaitu sebelum diterima. Khiyar ‘aibi (cacat) menurut ulama’ fiqh adalah:
ان يكون لاحد العا قدين القحق في فسخ العقداو امضا ئه اذا وجذاعيب في احد
البدلينولم يكن صا حبه عالما به وقت العقد
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan ‘aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemilik waktu akad”
Dengan demikian penyebab terjadinya khiyar ‘aib adalah adanya cacat dan barang yang dijualbelikan (ma’qud alaih) atau harga (tsaman), karena kurangnya nilai atau tidak sesuai dengan maksud atau orang dan akad yang tidak meneliti kecacatannya ketika akad. Sedangkan dasar Hadist mengenai dibolehkannya khiyar ‘aib yaitu:
روت عائسة رضي الله عنهم ان رجلا ابتاع غلاما فاءقام عبده ما شاءالله ثم وجدبه غيبا فخاصمه الي النبي صلي الله عليه وسلم فرده عليه (رواه احمد وابو داو والتر ميذي)
“Aisah telah meriwayatkan, bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian mendapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia mengadukannya kepada Rasullah Saw. Keputusan dari beliau, budak itu dikembalikan kepada penjual ” (Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Cacat yang terjadi sesudah akad sebelum diterima barang, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh pembeli masih dalam tanggungan penjual. Jadi, dalam hal ini tidak terjadi hak khiyar karena barang tersebut masih belum diserah terimakan.
Dalam hal khiyar ‘aib ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
1). Adanya aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada ditangan pembeli, aib tersebut tidak tetap.
2). Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang. Dan jika cacat itu sudah diketahui ketika menerima barang tersebut maka tidak ada khiyar dalam hal ini karena sudah dianggap pembeli sudah rela.
3). Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkan, tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskan gugurlah hak dirinya.
Khiyar memang dibolehkan sebelum keduanya meninggalkan tempat akad harus diadakan perjanjian terlebih dahulu diantara kedua belah pihak, mungkin setelah keduanya meninggalkan tempat akad ada beberapa hal yang membuat penjual atau pembeli merasa rugi atau dalam hal ini terdapat beberapa aib yang ada pada barang yang telah dibeli tersebut.
Waktu khiyar aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secar langsung atau ditangguhkan terdapat dua pendapat. Ulama’ Hanafiyan dan Hanabilah berpendapat bahwa yang membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyatarkan secara langsung. Dengan demikian, ketika diketahui adanya cacat, tetapi pengembalian diakhirkan hal itu tidaklah membatalkan khiyar sehingga ada tanda-tanda yang menunjukkan kerelaan. Karena syarat khiyar adalah untuk mencegah kemudharatan.
Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahui cacat. Yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh ditangguhkan.
b. Cara pengembalian akad
Adapun cara pengembalian akad ini adalah apabila barang masih berada di tangan pemilik pertama yakni belum diserahkan kepada pembeli, akad dianggap telah di kembalikan dengan ucapan ”saya kembalikan”. Dalam hal ini tidak diperlukan keputusan seorang hakim.
Ulama’ Hanafiyah berpendapat, apabila barang sudah diserahkan kepada pembeli, harus ada kerelaan ketika diserahkan kepada keputusan hakim. Hal itu untuk mencegah adanya pertentangan sebab adanya kemungkinan cacat tersebut baru sehingga tidak wajib dikembalikan atau cacatnya sudah lama sehingga wajib dikembalikan.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad batal dengan ucapan pembeli ”saya kembalikan” tanpa membutuhkan kerelaan dan keputusan hakim, sebagaimana pembatalan pada khiyar syarat. Sebab khiyar aib menjadikan jual beli tidak lazim.
c. Hukum akad dalam Khiyar aibi’
Hak kepemilikan dalam barang khiyar yang masih memungkinkan adanya aib berada di tangan pada pembeli sebab jika tidak terdapat kecacatan barang tertebut adalah pemilik pembeli secara lazim.
Dampak khiyar aibi’ adalah menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak khiyar, baik rela atas cacat tersebut sehingga batal khiyar dan akad lazim tersebut atau mengembalikan barang kepada pemiliknya sehinga akad batal.
d. Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang
ma’qut alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad
menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab sebagai berukut:
1). Rida setelah mengetahui adanya cacat, baik secara jelas diucapkan atau adanya petunjuk, seperti menggunakan barangnya yang menunjukkan atas adanya keridhaan barang yang cacat.
2). Menggugurkan khiyar, baik secara jelas seperti berkata ”saya gugurkan khiyar” atau hanya petunjuk, seperti membebaskan adanya cacat pada barang.
3). Barang rusak karena perbuatannya pembeli atau berubah dari bentuk aslinya.
4). Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau tambahan yang terpisah dari barang, tetapi berasal dari aslinya, seperti munculnya buah atau lahirnya anak.
e. Mewariskan khiyar Aibi’.
Ulama’ fiqh sepakat bahwa khiyar aibi’ diwariskan sebab berhubungan dengan barang. Dengan demikian jika yang memiliki hak khiyar aibi’ itu meninggal. Ahli warisnya memiliki hak untuk meneruskan khiyar sebab ahli waris memilki hak menerima barang yang selamat dari cacat.



[1] Dr. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Muamalah, (Tangerang; Gaya Media Pratama, 2007), hal. 97
[2] Salam yang dimaksud dalam pembahasan ini terdiri dari tiga huruf : sin-lam-mim (سلم), artinya adalah penyerahan dan bukan berarti perdamaian. Dari kata salam inilah istilah Islam punya akar yang salah satu maknanya adalah berserah-diri. Sedangkan kata salam yang bermakna perdamaian terdiri dari 4 huruf, sin-lam-alif-mim (سلام).
[3] Dr. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Muamalah, (Tangerang; Gaya Media Pratama, 2007), hal. 105
[4] Ibid., hal.99
[5] Al Mabsuth oleh As Sarakhsi  jilid 12 halaman 138; Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam jilid 7 halaman 115

0 komentar:

Share

Share

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail