Jumat, 08 November 2013
PENDAHULUAN
Salah satu persoalan mendasar yang
dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana
hukum islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk transaksi ekonomi
kontemporer serta perkembangannya yang belum di dapat dalam kitab-kitab fiqih
klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fukoha klasik telah mengkaji fiqih
muamalah secara secara atomistik, dimana para fukoha langsung masuk kedalam
aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa memutuskan terlebih dahulu asas-asas
umum hukum yang mengatur dan menyemangati perjanjian-perjanjian khusus
tersebut. Dalam kitan-kitab fiqih, para fuqoha klasik langsung membahas
aturan-aturan rinci jual beli, sewa-menyewa, serikat atau persekutuan usaha.
Untuk menjawab kebutuhan diatas, maka
ahli-ahli hukum islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam zaman di modern
ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari
aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqoha klasik tersebut.
Hal ini semakin beralasan, karena hukum islam di bidang muamalat ini semakin
mempunyai arti yang penting, terutama dengan lahirnya berbagai institusi
keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, asuransi, pegadaian, obligasi
dan lain-lainnya. Hal ini tentunya menuntut penjastifikasian dari aspek
syariah.
Dalam konteks indonesia,
perkembangan terakhir dari sistem hukum nasional adalah adanya upaya untuk
memperluas aturan formal hukum islam kedalam bidang muamalah. Utusan ini telah
dikukuhkan dengan diundangkannya undang-undang No. 3/2006 tentang peradilan
agama yang memperluas yurisdiksinya. Perluasan yurisdiksi tersebut dapat
dilihat pada pasal 49 yang menyatakan bahwa peradilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa memeutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi
syariah, yakni kegiatan atau usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
Sementara itu, aspek yang paling
penting dari fiqih muamalah dalam kaitannya dengan ekonomi islam adalah hukum
transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan
ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari
asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad
sebagai unsur pembentukan akad. Tanpa memutuskan hal ini terlebih dahulu, maka
akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan muncul dari
berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi yurisdiksinya
peradilan agama tersebut.
1. KONSEP AQAD
FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada
hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu
tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah
transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang
ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan
sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan fitrahnya
manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam
usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat
dikelompokkan ke dalam:
a.
Bekerja sama
dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan
dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan tersebut
dapatdilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100%
melalui akad mudharabah maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad musyarakah.
b.
Kerjasama
dalam perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas
tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat
fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak
untuk mendapatjan bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang
berbeda dengan harga tunai.
c.
Kerja sama
dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan asset.
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi
menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu
yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama
akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah: 1. Adanya
pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan
pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa. 2. Adanya barang (maal) atau jasa
(amal) yang menjadi obyek transaksi. 3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk
kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul). Disamping
itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap
dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah
cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas
sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya. Obyek transaksi
menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk
jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan
kedalam: 1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas
keberadaannya atau segera dapat diperoleh manfaatnya. 2. obyek yang masih
merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang
tidak tunai. Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai
berikut: 1. aqad mudharaba Ikatan atau aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah
ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik
Usaha dengan Pemilik Harta 2. aqad musyarakah Ikatan atau aqad Musyaraka pada
hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang
bersama-sama menjadi Pemilik Usaha, 3. aqad perdagangan Aqad Fasilitas
Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu
transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan
pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut
tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi. 4. Aqad Ijarah,
adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara
atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik
Obyek. Ijarah mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing,
karena Ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi
perpindahan kepemilikan. Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa Fiqih Muamalah merupakan ilmu yang mempelajari segala
perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh
falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat). Perilaku manusia di sini
berkaitan dengan landasan-landasan syariah sebagai rujukan berperilaku dan
kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut
berinteraksi dengan porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah mekanisme
ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar nilai ilahiyahh.
2. Akad Dalam Pandangan Hukum Islam
Dalam transaksi jual beli hal paling
signifikan menyangkut keabsahan hukum jual beli adalah akad. Akad menentukan
sah dan tidaknya jual beli tersebut. Signifikansi akad merupakan prasyarat yang
harus di penuhi. Prasyarat yang menuntut sesesorang untuk memahaminya dalam hal
transaksi jual beli supaya transaksi yang dilakukannya sah secara hukum Islam.
Tidak sah akadnya setiap transaksi,
maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksahan suatu transaksi bisa
disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan
syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling
berkaitan), atau terjadi dua akad sekaligus. Sedangkan aturan-aturan akad tersebut
telah ditetapkan dalam hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits.
Maka dari itu diperlukan pemahaman lebih lanjut.
Secara etimologis pengertian akad
antara lain berarti:
الرّبط بين
اطراف الشيء سواء اكا ن ربطا حسّيّا ام معنويا من جا نب ام من جا نبين
“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara
nyata maupun ikatan secara makna, dari satu segi maupun dari dua segi ”
Pengertian akad
secara umum dalam arti luas sama dengan pengertian akad dari segi bahasa,
menurut pendapat ulama’ Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كلّ ما عزم
االمرّء على فعله سواء صدر باءرادة منفرة كالوقف والاءبراء والطلا ق
واليمين ام
احتاج الى اراد تين فى انشائه كا لبيع والايجار والتوكيل ولرّهن
”Segala sesuatu
yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf,
talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua
orang seperti jual –beli, perwakilan dan gadai” .
Dalam
pengertian khusus sebagaimana dikemukakan oleh ulama’ fiqh[1];
ارتبا ط ايجا
ب بقبول على وجه مشروع يثبت اثره فى محله
”Perikatan yang
ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada
obyeknya.”
.kepadamu”
qabulnya ” saya beli barangmu”. Dengan demikian, ijab qobul adalah suatu
perbuatan pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara
dua orang atau lebih sehingga terhindar dari suatu ikatan yang tidak
berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan
atau perjanjan dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang
tidak berdasarkan pada keridhaan dan syariat.
Berdasarkan
pada akad tersebut, hal ini yang perlu ditinjau lebih jauh mengenai akad
transaksi as-Salam dan Istishnah, karena keduanya merupakan dua jenis transaksi
yang memprioritaskan pada penggunaan akad dengan penangguhan atau disegerakan
pengiriman barang sesuai kesepakatan dalam akad yang menjadi obyek kajian.
1. Akad Dalam as-Salam
Transaksi salam telah dikenal oleh masyarakat Arab jahiliyah
sebelum kedatangan Islam. Ketika Rasulullah tiba di Kota Madinah setelah
Hijrah, beliau mendapati penduduk Madinah telah mengenal dan telah melakukan
praktek salam. Bai’ salam hasil kemudian berkembang pada hasil pertanian. Para
ulama’ mazhab membolehkan bai’ salam untuk barang apapun selama memenuhi
batasan yang di atur oleh syara’. Salam yang menjadi pembahasan syariat dan
termasuk dalam kategori muamalah, kemudian menjadi bagian dari hal-hal yang
dibolehkan agama dengan terlebih dahulu menetapkan aturan-aturan baku yang
mengatur dan menertibkannya.
Pada prakteknya transaksi salam
terdapat resiko negatif (gharar) karena ketiadaan barang yang
diperjualbelikan pada saat transaksi, tetapi Islam membolehkannya setelah
melihat manfaat dan kebutuhan manusia yang besar terhadap hal ini. Para Ulama
juga menyebut transaksi salam dengan ‘bai’ul mahawîj’ artinya, jual beli
yang telah dihalalkan karena adanya ketergantungan dan saling membutuhkan.
Pembeli membutuhkan barang yang diinginkannya dan penjual membutuhkan modal
untuk membiayai usaha pengadaan barang atau untuk menafkahi keluarganya dan
seterusnya. Hikmah inilah yang menjadikan praktek salam dibolehkan dikecualikan
dari jual beli gharar. Karena gharar
mengandung (kegelapan), dengan artian seorang pembeli bisa terjerumus dalam
kegelapan tersebut sehingga ia tidak bisa melihat atau mengamati barang yang
akan dibelinya dengan baik. Oleh karena itu bai’ salam
harus jelas kuantitas, kualitas dan waktu penyerahannya. Prinsip kewajiban (kualitas, kuantitas waktu penyerahan) secara jujur
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:
واوفوا الكيل
والميزان بالقسظ (الانعم :152)
“Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil” (al-An’am:153)
واوفوا الكيل
اذا كلتم وزنوا با لقسطا س المستقيم ذلك خير واحسن تاء ويلا (الاسراء:35)
“Dan
sempurnakanlah takaran apabila kau menakar, dan timbangklah dengan neraca yang
benar, itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(al-Isra’: 35)
Salam merupakan bentuk masdar
dari kata aslama yang berarti mendahulukan modal. Salam ialah
menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifatnya:
barang itu ada di dalam pengakuan (tanggungan) si penjual. Meminjam istilah
Ibnu Abbas hutang disini adalah hutang salam. Secara etimologi salam
juga diistilahkan dengan salaf (pinjaman tanpa bunga). Istilah salam
digunakan oleh penduduk Hijaz, sedangkan kata salaf digunakan oleh penduduk
Irak. Kata salam pada hakikatnya lebih khusus dibanding kata salaf,
karena salaf digunakan dalam dua hal:
1). Memberikan emas atau perak untuk
membayar barang tertentu hingga batas waktu tertentu dengan menaikkan harganya
dari harga yang ada. Bentuk yang dimaksud adalah salam
2). Untuk qardh (pinjaman
tanpa bunga).
Secara terminologi, salam berarti penjualan
barang tertentu tetapi barang tersebut masih dalam tanggungan (ditangguhkan
penyerahannya) dan modalnya (ra's al-mâl) dibayar pada saat transakasi.
Atau dalam pengertian sederhana, salam adalah transaksi dimana modal dibayar di
muka dan barang yang dibeli diterima belakangan, untuk satu jangka waktu yang
tertentukan.
b. Hukum Salam
Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar di kalangan
para ulama tentang boleh tidaknya praktek salam ini dilakukan. Mayoritas
ulama salaf maupun khalaf dari seluruh madzhab fiqh sepakat bahwa
salam boleh dan disyariatkan oleh Allah Swt, baik dalam Al Quran maupun
lewat penjabaran Nabi Muhammad Saw.
Satu-satunya dalil teks hadits yang digunakan oleh
sebahagian ulama seperti Ibnu Musayyib dan
lain-lainnya. Diantara dalil-dalil yang
menyebutkan kebolehan praktek salam sebagaimana yang disebutkan para ulama fiqh
adalah sebagai berikut:
يآ أيها
الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه ( البقرة 282)
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.”
Ibnu Abbas berkata: “Aku bersaksi
bahwa salam dalam jaminan hingga waktu tertentu telah dihalalkan Allah dalam Al
Quran.” Kemudian beliau membacakan ayat ini. Menurut Ibnu Abbas, salam yang
terjamin barangnya adalah halal.
Ibnu Abbas Ra. meriwayatkan bahwa
ketika Rasulullah Saw. tiba di Kota Madinah, Beliau mendapati penduduknya telah
melakukan praktek salam; memesan barang untuk jangka satu sampai dua tahun.
Rasulullah kemudian bersabda:
من أسلف في
شيىء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
”Barang siapa
melakukan salaf, ia harus melakukannya untuk barang yang berat dan ukurannya,
dan untuk jangka waktu yang pasti". (diriwayatkan Bukhari)
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa semua
ulama’ sepakat bahwa salam hukumnya boleh dilakukan. Dalam Mausû’ah Al Um,
Imam As Syafi’I Ra. berkata mengenai ijma’ ulama tentang kebolehan salam
sebagai berikut: “....Salaf atau salam boleh sesuai sunnah Rasulullah Saw.
dan atsar serta tidak ada perbedaan di kalangan para ulama, sebagaimana saya
ketahui”.
c. Rukun dan Syarat Salam
1) Rukun
a). Ada penjual dan pembeli
b). Ada barang dan uang
c). Ada sighat (lafad akad)
Rukun salam menurut Ulama Hanafiyah
hanyalah lafadz akad; ijab dan qabul. Mayoritas Ulama menambahkan dalam rukun: Al
Aqidan (pelaku transaksi; terdiri dari penjual Al Muslamu Ilaîh dan
pembeli atau Al Muslim), Al Muslamu fîh (barang dan tempat
penyerahannya) dan Ra’sul mâl (modal atau harga pembayaran).
2) Syarat-syarat Rukun
Kalau diklasifikasikan syarat-syarat
yang dipenuhi dalam transaksi salam sesuai rukun-rukunnya, maka setiap
rukun yang ada harus memenuhi beberapa syarat tertentu, sebagai berikut:
a). Syarat Lafadz Aqad[3]
Syarat yang harus dipenuhi dalam
aqad salam dapat kita bedakan menjadi dua bagian. Pertama, syarat umum,
mencakup syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam setiap akad jual beli dan
telah disepakati oleh para ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
(1) Ketersambungan aqad
(2) Ijab dan
qabul tidak digantung dengan syarat.
Contoh ijab yang digantung misalnya
pembeli berkata; “Bila Anakku sehat maka aku akan memesan darimu sebuah
lemari es dan kau serahkan dua bulan lagi”.
(3) Kesesuaian
antara lafadz qabul dan ijab.
Adapun syarat-syarat khusus pada
lafadz aqad salam adalah sebagai berikut:
(1). Ijab hanya boleh dengan
menggunakan lafadz salam atau salaf.
Menurut Ulama Syafi’iyah, dan tidak
boleh menggunakan lafadz ba’I sebab terjebak pada jual beli sesuatu yang
tidak ada (bai’ Al ma’dûm). Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah boleh menggunakan lafadz salam, salaf atau jual beli
biasa. Perbedaan ini kemudian akan melahirkan perbedaan hukum dalam menentukan
boleh tidaknya barang diserahkan langsung saat akad.
(2) Tidak boleh
terdapat syarat khiyâr.
Apabila barang telah didatangkan
pada waktu yang telah disepakati maka tidak boleh ada khiyâr (memilih
atau meminta ganti). Kecuali bila terdapat cacat dalam barang tersebut dan
merusak sifat dan syarat yang telah disepakati.
(3) Disebutkan
tempat penyerahan barang bila tempat tersebut hanya dapat dijangkau dengan
menggunakan biaya.
(4) Disebutkan
waktu penyerahan barang yang diketahui bersama. Menurut Malikiyah minimal 15
hari setelah akad terjadi.
Tidak ada perbedaan di kalangan
ulama tentang wajibnya penyebutan waktu yang diketahui bersama, sebab teks Al
Quran dan hadits dengan jelas menyebutkan hal ini. Ulama Malikiyah berpendapat
bahwa boleh menyebutkan masa panen, awal musim gugur, hari kedatangan jama’ah
haji, dsb. bila penjual dan pembeli berada pada kota yang sama. Sebab menurut
Malikiyah, kata-kata tersebut termasuk dalam kategori waktu yang biasa
digunakan dan dimaklumi. Mayoritas ulama tidak membenarkan pendapat ini. Mereka
beralasan bahwa waktu-waktu tersebut tidak dapat ditentukan secara pasti, dapat
berubah-ubah, sehingga termasuk dalam kategori waktu yang tidak diketahui.
(5) Menyebutkan sifat-sifat, jenis,
bentuk, dan ukuran barang.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak
boleh menyebut sifat barang yang tidak mungkin didatangkan penjual. Misalnya si
penjual mengatakan “Saya membeli darimu pakaian atau makanan yang paling
baik,” dan sebagainya, tanpa menyebutkan sifat-sifat yang membedakannya
dengan yang lainnya. Bila terjadi, maka pada saat itu akad cacat, karena
penjual tidak akan sanggup mendatangkan barang yang paling baik sebab tidak ada
standar yang jelas dan disepakati tentang baik dan buruk suatu benda. Dan
apabila pembeli dalam akad hanya mengatakan: “Saya membeli darimu pakaian
atau makanan yang baik atau baru,” apabila kemudian terjadi pertentangan
setelah barang itu didatangkan, maka cukup memanggil seseorang untuk menilai. Apabila
menurut penilaiannya barang tersebut baik atau baru, maka pembeli harus
menerimanya.
b). Syarat Al ‘Aqidân[4]
(1). Keduanya secara syariat termasuk orang yang
memiliki hak bertransaksi. Al Qadhi Abi Suja’ menyebutkan dalam kitabnya Matnu
Al Ghâyah wa At Taqhrîb, bahwa orang yang terhalang haknya untuk melakukan
transaksi (Al-Hajr) ada enam golongan. Beliau berkata:
Orang yang terhalang haknya untuk
bertransaksi ada enam golongan. (a) Anak kecil, (b) orang gila, (c) orang bodoh
yang suka menghamburkan hartanya, (d) orang bangkrut yang terlilit hutang, (e)
orang yang sakit parah tidak boleh menafkahkan lebih dari sepertiga hartanya
dan (f) hamba sahaya yang tidak diizinkan berdagang oleh majikannya.
(2) Mayoritas
Ulama fiqh mensyaratkan pembeli harus beragama Islam bila yang diperjual
belikan adalah budak muslim. Sebab bila pembeli adalah orang kafir maka budak
itu akan berada di bawah penguasaan orang kafir dan ini bertentangan dengan
ayat Al Quran:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
“dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman.” (an-Nisa:141)
Kecuali budak tersebut adalah ayah
atau anak dari pembeli.
Bila penjual adalah seorang yang
buta, maka aqad cacat. Tetapi bila yang buta adalah pembeli, maka menurut Ulama
Syafi’iyah transaksi tetap sah dengan syarat si pembeli mengetahui sifat-sifat
benda yang dipesan; beratnya, jumlahnya, jenisnya da sebagainya. Apakah benda
itu pernah dilihatnya sebelum buta, atau diketahui karena pernah didengarnya
atau dalam transaksi dia ditemani oleh orang lain (yang tidak buta) yang
dipercayainya.
Ulama’ Hanafiyah
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Jumhur fuqaha di atas. Bagi mereka,
rukun akad adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada
satu yakni sighat akad (ijab dan qabul). Al-aqidain dan mahallul akad bukan
merupakan rukun akad melainkan lebih tepat dimasukkan sebagai syarat akad.
Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi
tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal dari sesuatu yang
ditegakkannya.
c). Syarat Barang dan Tempat Penyerahan
Secara umum, segala barang yang dibolehkan untuk
diperjual belikan dalam jual beli biasa diperbolehkan pula untuk diperjual
belikan dalam bentuk salam. Berikut beberapa syarat yang harus
diperhatikan berkaitan dengan barang dan tempat penyerahannya:
(1). Harus
dalam bentuk hutang dalam jaminan penjual.
(2). Harus merupakan benda yang dapat
diidentifikasi secara jelas; mempunyai sifat-sifat tertentu; jenis, sifat,
ukuran, kadar, klasifikasi kualitas yang diketahui bersama dan membedakannya
dengan barang lainnya.
(3). Termasuk benda yang mungkin didatangkan ketika
tiba masa penyerahannya. Harus diserahkan bukan pada saat akad.
(4). Mayoritas
ulama berpendapat bahwa transaksi penyerahan barang tidak boleh bersamaan
dengan saat akad salam. Bila telah bersamaan, maka akan terjadi dua
kemungkinan. Pertama, bila barang sudah ada pada saat akad maka praktek yang
terjadi bukan lagi praktek salam tetapi telah berubah menjadi transaksi jual
beli biasa, sebab yang membedakan salam dan jual beli hanyalah persoalan waktu
penyerahan barang. Kemungkinan kedua, apabila barang belum ada, maka transaksi
ini telah terjebak dalam transaksi haram; jual beli barang yang tidak ada (bai’
al ma’dûm).
Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal ini.
Mereka mengatakan bahwa penyerahan barang boleh pada saat bersamaan dengan akad
bahkan lebih baik. Mereka menafsirkan kalimat “ilâ ajalin musamma” dalam
Al Quran dan “ilâ ajalin ma’lûm” dalam hadits Nabi bukan sebagai syarat,
tetapi bermakna apabila transaksi menyebutkan waktu maka waktu tersebut
diketahui dan disepakati bersama. Adapun yang membedakannya dengan jual beli
adalah pada lafadz transaksi.
(5). Tempat penyerahan adalah yang telah disepakati
sebelumnya.
Ketika tempat penyerahan barang berubah dari tempat
yang telah disepakati tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu, maka salah satu
atau kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akad. Tetapi ketika keduanya
tidak menyebutkan tempat, maka akad tetap sah menurut mayoritas ulama. Apabila
tempat penyerahan barang hanya bisa dicapai oleh salah satu pihak atau keduanya
dengan mengeluarkan biaya, maka menurut Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah
tempat itu harus disebutkan dalam aqad.
d). Syarat Modal (Ra’sul Mâl)
(1). Harus diserahkan atau dibayar pada saat aqad
transaksi, demi menghindari terjadinya jual beli utang dengan utang (bai' ad-dain
bi ad-dain ). Malikiyah membolehkan adanya jangka waktu paling lama tiga
hari, sebab 3 hari masih dianggap tempo yang dekat dengan waktu transaksi.
(2). Serah terima di tempat aqad, sebelum pelaku
transaksi berpisah apakah modal tunai atau hutang.
(3). Jumlah modal yang diserahkan harus diketahui
bersama. Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan cukup dengan melihat modal
tersebut atau dengan isyarat. Hanafiyah mensyaratkan dihitung untuk memastikan
jumlahnya. Hanafiyah juga menambahkan modal tersebut mesti diketahui jenisnya,
diperiksa keaslian dan dilihat apakah boleh digunakan atau tidak. Tidak mesti Ra’sul
Mâl dalam bentuk uang, tetapi boleh dalam bentuk jasa. Misalnya pembeli
berkata; Saya memesan darimu sebuah sepeda motor dalam jangka dua bulan dan
sebagai pembayarannya, silahkan kau menempati rumahku selama enam bulan”.
2. Akad Dalam Istishna’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam
secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna'
adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada
seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.[5]
Jual beli istishna' merupakan satu bentuk
transaksi yang erat kaitannya dengan salam. Dalam hal ini tentang istishna'
dan salam, wujud istishna' itu sendiri masih bersangkutan dengan salam,
bahkan sebagian besar ulama fiqh klasik mendefinisikan istishna' sebagai
bentuk salam yang termodifikasi.
Istishna' berarti meminta kepada pembuat
barang untuk dibuatkan barang tertentu dengan ciri-ciri yang tertentu.
Transaksi ini merupakan satu akad yang dikembangkan oleh mazhab Hanafiyah,
namun mereka sendiri pada dasarnya berselisih pendapat tentang istishna'.
Menurut Al-Marwazi dan Muhammad bin Salamah, istishna' tak lain hanyalah
berupa janji penjual kepada pembeli. Akan tetapi pendapat yang kuat menurut
mazhab mereka bahwa istishna' adalah satu akad yang independen. Adapun
ulama non-Hanafiyah (Syafi'i, Maliki dan Hanabilah) berpendapat bahwa istishna'
tak lain adalah bentuk dari salam berikut syarat-syaratnya yang berpatokan
kepada salam. Istishna’ menyerupai salam, namun istishna’ pembayarannya
dapat di muka, dicicil atau di belakang ketika selesai melakukan akad.
Dalam menyikapi akad ini, ulama klasik terbagi kepada
dua pendapat. Para Ulama Fiqh Hanafiyah mayoritas membolehkan transaksi istishna'
yang berasakan akad salam, mereka juga mensyaratkan syarat-syarat salam pada istishna'.
Hanafiyah berpendapat bolehnya istishna' dengan dalil adanya kebutuhan
manusia terhadapnya. Selain itu mereka juga berpatokan bahwa Rasulullah saw.
pernah minta dibuatkan cincin.
Selain mewajibkan terpenuhinya syarat-syarat salam
pada istishna', mazhab Hanafiyah menambahkan tiga syarat khusus yaitu:
a. Menjelaskan
jenis barang, sifat dan kadarnya;
b. Barangnya
memiliki unsur produksi. Barang yang tidak ada unsur
produksinya tidak dibolehkan;
d.
Tidak
memaksakan adanya penundaan yang tertentu. Mereka beralasan bahwa jika waktunya
tertentu maka yang terjadi bukanlah istishna' tapi Salam.
Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
Al-Syaibani tidak menjadikan hal yang ketiga ini sebagai syarat istishna'.
Sementara para Ulama Fiqh non-Hanafiyah berpendapat
bahwa istishna' adalah bentuk lain dari salam. Mereka tidak
membolehkannya karena istishna' merupakan satu bentuk jual beli barang
yang tidak ada (bai' ma'dum). Tetapi menurut Prof. Dr. Ali Syadzily,
Mazhab Malikiyah membolehkan jual beli yang menyerupai istishna' dikenal
dengan jual beli ahli Madinah (bai' ahli Madinah) dengan unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Pembeli harus melakukan akad dengan yang mempunyai
profesi tertentu contohnya tukang roti.
b. Barang yang dibeli belum ada, akan tetapi barangnya
bisa dipastikan akan ada setiap hari, karena profesinya menuntutnya untuk
selalu menyediakan barang tersebut sehingga pembeli bisa mendapatkan barangnya
sesuai jumlah yang disepakati;
c. Akadnya ada dua cara yaitu dengan membayar barang
dengan jumlah yang banyak, dan barangnya akan diambil secara berangsur setiap
hari atau membelinya secara eceran setiap hari.
Jual beli Istisna’ adalah jenis transaksi yang
didasarkan pada kriteria tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar
pesanan ketika masih dalam proses pembuatan atau setelah barang itu jadi dengan
cara sekaligus atau mengangsur.
Model usaha istishna’ diperbolehkan oleh jumhur
fuqaha, walaupun mereka berbeda pendapat tentang penggabungannya kepada jenis
sistem salam, maka pada kondisi ini harus mengikuti persyaratan yang amat sulit
karena adanya kemungkinan madharatnya, menyerahkan harga di majelis aqad,
menurut jumhur ulama, atau selama tiga hari menurut madzhab Malik.
A. Khiyar Dalam Pandangan Hukum Islam
Khiyar artinya ”Boleh memilih
antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan jual beli”. Tujuan
dari khiyar menurut syara’ adalah agar kedua orang yang melakukan
transaksi jual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh,
supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena disebabkan salah
satu pihak merasa merasa tertipu atau tujuan khiyar untuk menguji kualitas
barang yang diperjualbelikan. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi jual beli
tersebut dari segi akad tidak sempurna, yang memungkinkan akad untuk
membatalkannya. Sedangkan pengertian khiyar menurut Ulama’ Fiqh adalah:
ايكون
للمتعاقد الحق في امضاء العقد اوفسخه ان كا ن الخيا ر شرط او رؤ سة او عيب او ان
يختار احد البيعين ان كا ن الخيار تعيين
”Suatu keadaan
yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan
atau membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib atau ru”yan
atau hendaklah memilih diantara dua orang jika khiyar ta’yin”.
Mengenai jenis
khiyar sangat banyak dan diatara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat.
Menurut ulama’ Hanafiyah jenis khiyar adalah 17. Ulama’ Malikiyah membagi
khiyar menjadi dua bagian, khiyar al-taamal dan khiyar Naqis.
Ulama’ Syafi’iyah membagi menjadi dua bagian, khiyar at-tasyasi,
adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan
seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua khiyar
naqhisah, yaitu disebabkan karena adanya perbedaan dalam lafad
atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya pergantian. Adapun khiyar
yang didasarkan pada syarat menurut ulama; Syafi’iyah ada enam belas dan
menurut ulama Hanabilah ada delapan macam.
Dari sekian banyak jumlah khiyar,
namun yang terkenal menurut jumhur ulama’ ada tiga
macam diantarnya adalah:
1. Khiyar Majelis
Dalam pengertiannya khiyar majelis
menurut ulama’ fiqh adalah:
ان يكون لاحد
العا قدين او لكيلهما او لغير هما الخق في فسخ العقد او امضا ئه خلا ل مدة
معلو مه
“Hak bagi semua pihak yang
melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan
keduanya belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman
dalam akad”
Khiyar majelis dikenal oleh
ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad akan menjadi lazim, jika
kedua belah pihak telah berpisah dan memilih. Hanya saja khiyar majelis tidak
dapat berada dalam setiap akad. Khiyar mejelis hanya ada pada yang sifatnya
pertukaran, seperti jual beli, upah-mengupah dan lainnya.
Menurut ulama’ Hanafiyah dan
Malikiyah khiyar majelis dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul,
serta tidak bisa hanya dengan khiyar, sebab Allah SWT menyuruh untuk menepati
janji, sebagaimana firman-Nya: اوفوا با
لعقود (kamu semua
harus memenuhi janji) sedangkan khiyar menghilangkan keharusan tersebut.
Selain itu akad tidak akan sempurna kecuali dengan adanya saling ridho (rela),
sebagaimana firman Allah:
الا ان تكو ن
تجا رة عن تراض منكم
“Kecuali dengan jalan
perniagaan yang dilakukan engan suka sama suka” (an-Nisa’: 29)
Sedangan keridhoan hanya dapat diketahui dengan jalan
ijab dan qabul. Golongan ulama’ ini tidak mengakui terhadap keberadan Khiyar
majelis. Bahkan ulama’ Hanafiyah menakwil Hadis tentang keberadaan Khiyar
majelis, yaitu:
البيعان
بالخيار مالم يتفرقا او يقول احدهما للاخر: اختر (رواه البخاري ومسلم)
“Orang yang berjualbeli berhak
khiyar sebelum keduanya berpisah atau salah satunya mengatakan kepada yang lain
dengan berkata, pilihlah!”
Khiyar majelis yaitu pembeli dan penjual boleh memilih
antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli.
Khiyar majelis dibolehkan dalam segala macam jual beli. Sebagaiman Nabi
bersabda:
البيعان با
لخيار مالم يتفرقا (واه شيخان بخاري ومسلم)
“Dua orang yang berjual beli
boleh memilih (akan meneruskan jual beli atau tidak) selama keduanya belum
bercerai dari tempat akad.” (Bukhari dan
Muslim)
Mereka
berpendapat yang dimaksud dua orang yang melakukan akad jual beli adalah orang
yang melakukan tawar menawar sebelum akad, untuk berakad atau tidak. Adapun
dari maksud berpisah adalah berpisah dari segi ucapan dan bukan badan. Dengan
kata lain, bagi yang menyatakan ijab, ia boleh menarik ucapannya sebelum
dijawab qobul, sedangkan bagi yang lainnya (penerima) boleh memilih apakah ia
akan menerimanya di tempat tersebut atau menolaknya. Namun, menutut Juhaily,
takwil tersebut tidak berfaedah sebab yang berakad bebas untuk menerima atau
menolak. Dengan demikian orang tidak menerima tidak dapat dikatakan berpisah.
Hadis tentang khiyar mejelis tidak dapat dikatakan menyalahi kerelaan (ridho)
sebab khiyar mejelis unuk memperkuat adanya kerelaan.
Sedangkan
menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat mengenai khiyar mejlis,
jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih termasuk
akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di tempat atau
belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan
atau meneruskan jual beli. Adapun pengertian dalam berpisah diserahkan kepada
adat (tradisi) atau kebiasaan menusia dalam bermuamalah, yakni dapat berjalan
dengan baik dengan ketentuan Hadis Sahih di atas.
Jaminan sebuah
majelis akan berpengaruh karena pihak yang melakukan transaksi akad jual beli
dapat mempertimbangkan mengenai kualitas barang yang telah dilakukan akad dalam
satu tempat. Namun, khiyiar majlis ini akan hilang apabila;
a. Keduanya memilih akan meneruskan akad. Apabila
keduanya memilih akan meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi,
hak yang lain masih tetap.
b. Keduanya terpisah dari tempat jual beli. Artinya
terpisah itu ialah menurut kebiasaan. Apabila kebiasaan telah menghukum bahwa
keadaan keduanya sudah terpisah, tetaplah jual beli antara keduanya. Kalau
kebiasaan mengatakan belum terpisah, maka pintu khiyar masih terbuka diantara
keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah, maka pintu khiyar masih
terbuka diantara keduanya. Kalau keduanya berselisih umpamanya seorang
mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum. Yang
mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum
terpisah.
2. Khiyar Syarat
Khiyar ini dijadikan syarat
sewaktu akad oleh keduanya, sedangkan menurut ulama fiqh, khiyar syarat adalah
ان يكون لاحد
العاقدين اولكيلهما او لغيرهما الحق في فسخ العقد او امضا ئه خلا لمدة معلومة
“Suatu keadaan
yang membolehkan salah seseorang yang akad atau masing-masing yang akad atau
selain kedua belah pihak yang akad memiliki hak atas pembatasan atau penetapan
akad selama waktu yang ditentukan”
Khiyar syarat
itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang,
seperti kata si penjual, ”saya jual barang ini dengan harga sekian dengan
syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tida hari”.
Khiyar syarat boleh dilakukan
dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima ditempat jual
beli, seperti barang riba. Ulama’ berpendapat bahwa masa khiyar syarat yang
paling lama adalah tiga hari atau tiga malam, terhitung dari waktu akad. Khiyar
disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi
pihak yang akad. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
انت بالخيار
في كل سلعة ابعتها ثلا ث ليال (رواه البيهقي وابن ماجه)
”Engkau boleh
khiyar pada segala barang yang telah engkau jual beli selam tiga hari tiga
malam” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu
Majah)
Barang yang terjual itu sewaktu
dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar. Kalau yang khiyar
hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau keduanya mensyaratkan khiyar,
maka barang itu tidak dimiliki oleh seorang dari mereka. Misalnya, penjual mengatakan “saya jual barang ini dengan harga sekian
dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari” karena
khiyar yang disyariatkan adalah khiyar yang ditetapkan batasan waktunya.
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
اذا با يعت
فقل : لا خلا بة ولي الخيار ثلاثة ايام (رواه مسلم)
”Jika kamu bertransaksi
(jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selam tiga hari” (HR. Muslim)
Menurut ulama’ Hanafiah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah, khiyar tidak jelas batasan waktunya adalah tidak
sah. sepeti pernyataan ”saya beli barang ini dengan khiyar selamanya”
perbuatan ini mengandung unsur jalalah (ketidakjelasan). Sebagaimana di
dasarkan pada hadis dari Ibnu Umar:
ان رجلا
اشتري من رجل بعيرا واشترط عليه الخيار اربعة اياّم فاً بطل رسول الله ص م البيع
وقال : الخيار ثلاثة اياّم (رواه عبد الرزّق)
”Seseorang
laki-laki membeli ekor unta dari laki-laki lainnya dan ia mensyaratkan khiyar
selama empat hari, Rasullullah SAW membatalkan jual beli tersebut dan bersabda
”khiyar adalah tiga hari”” (HR. Abdurrazaq)
3. Khiyar Aibi (Cacat)
a. Arti dan landasan
Pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya
apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang
itu, atau mengurangi harganya. Sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik,
dan sewaktu akad cacatnya yaitu sudah ada tapi tidak diketahui oleh pembeli
atau terjadi setelah akad yaitu sebelum diterima. Khiyar ‘aibi (cacat) menurut
ulama’ fiqh adalah:
ان يكون لاحد
العا قدين القحق في فسخ العقداو امضا ئه اذا وجذاعيب في احد
البدلينولم
يكن صا حبه عالما به وقت العقد
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad
memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan ‘aib
(kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak
diketahui pemilik waktu akad”
Dengan demikian penyebab terjadinya khiyar ‘aib adalah
adanya cacat dan barang yang dijualbelikan (ma’qud alaih) atau
harga (tsaman), karena kurangnya nilai atau tidak sesuai dengan maksud
atau orang dan akad yang tidak meneliti kecacatannya ketika akad. Sedangkan
dasar Hadist mengenai dibolehkannya khiyar ‘aib yaitu:
روت عائسة
رضي الله عنهم ان رجلا ابتاع غلاما فاءقام عبده ما شاءالله ثم وجدبه غيبا فخاصمه
الي النبي صلي الله عليه وسلم فرده عليه (رواه احمد وابو داو والتر ميذي)
“Aisah telah meriwayatkan, bahwasannya seorang
laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan
dia, kemudian mendapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia mengadukannya
kepada Rasullah Saw. Keputusan dari beliau, budak itu dikembalikan kepada
penjual ” (Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Cacat yang terjadi sesudah akad
sebelum diterima barang, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh pembeli
masih dalam tanggungan penjual. Jadi, dalam hal ini tidak terjadi hak khiyar
karena barang tersebut masih belum diserah terimakan.
Dalam hal khiyar ‘aib ini ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi.
1). Adanya aib setelah akad atau
sebelum diserahkan, yakni aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah
penyerahan atau ketika berada ditangan pembeli, aib tersebut tidak tetap.
2). Pembeli tidak mengetahui
adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang. Dan jika cacat itu sudah
diketahui ketika menerima barang tersebut maka tidak ada khiyar dalam hal ini
karena sudah dianggap pembeli sudah rela.
3). Pemilik barang tidak
mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika
penjual mensyaratkan, tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskan gugurlah hak
dirinya.
Khiyar memang
dibolehkan sebelum keduanya meninggalkan tempat akad harus diadakan perjanjian
terlebih dahulu diantara kedua belah pihak, mungkin setelah keduanya
meninggalkan tempat akad ada beberapa hal yang membuat penjual atau pembeli
merasa rugi atau dalam hal ini terdapat beberapa aib yang ada pada barang yang
telah dibeli tersebut.
Waktu khiyar aib tetap ada sejak
munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama. Mengenai
membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secar langsung atau
ditangguhkan terdapat dua pendapat. Ulama’ Hanafiyan dan Hanabilah berpendapat
bahwa yang membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan,
yakni tidak disyatarkan secara langsung. Dengan demikian, ketika diketahui
adanya cacat, tetapi pengembalian diakhirkan hal itu tidaklah membatalkan
khiyar sehingga ada tanda-tanda yang menunjukkan kerelaan. Karena syarat khiyar
adalah untuk mencegah kemudharatan.
Sedangkan menurut ulama’
Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan
sewaktu diketahui cacat. Yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh ditangguhkan.
b. Cara pengembalian akad
Adapun cara pengembalian akad ini
adalah apabila barang masih berada di tangan pemilik pertama yakni belum
diserahkan kepada pembeli, akad dianggap telah di kembalikan dengan ucapan ”saya
kembalikan”. Dalam hal ini tidak diperlukan keputusan seorang hakim.
Ulama’ Hanafiyah berpendapat,
apabila barang sudah diserahkan kepada pembeli, harus ada kerelaan ketika
diserahkan kepada keputusan hakim. Hal itu untuk mencegah adanya pertentangan
sebab adanya kemungkinan cacat tersebut baru sehingga tidak wajib dikembalikan
atau cacatnya sudah lama sehingga wajib dikembalikan.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa akad batal dengan ucapan pembeli ”saya kembalikan”
tanpa membutuhkan kerelaan dan keputusan hakim, sebagaimana pembatalan pada
khiyar syarat. Sebab khiyar aib menjadikan jual beli tidak lazim.
c. Hukum akad dalam Khiyar aibi’
Hak kepemilikan dalam barang
khiyar yang masih memungkinkan adanya aib berada di tangan pada pembeli sebab
jika tidak terdapat kecacatan barang tertebut adalah pemilik pembeli secara
lazim.
Dampak khiyar aibi’ adalah
menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak khiyar, baik rela atas cacat
tersebut sehingga batal khiyar dan akad lazim tersebut atau mengembalikan
barang kepada pemiliknya sehinga akad batal.
d. Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang
ma’qut alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad
menjadi lazim dengan adanya
sebab-sebab sebagai berukut:
1). Rida setelah mengetahui
adanya cacat, baik secara jelas diucapkan atau adanya petunjuk, seperti
menggunakan barangnya yang menunjukkan atas adanya keridhaan barang yang cacat.
2). Menggugurkan khiyar, baik
secara jelas seperti berkata ”saya gugurkan khiyar” atau hanya petunjuk, seperti
membebaskan adanya cacat pada barang.
3). Barang rusak karena
perbuatannya pembeli atau berubah dari bentuk aslinya.
4). Adanya tambahan pada barang
yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau tambahan
yang terpisah dari barang, tetapi berasal dari aslinya, seperti munculnya buah
atau lahirnya anak.
e. Mewariskan khiyar Aibi’.
Ulama’ fiqh sepakat bahwa khiyar
aibi’ diwariskan sebab berhubungan dengan barang. Dengan demikian jika yang
memiliki hak khiyar aibi’ itu meninggal. Ahli warisnya memiliki hak untuk
meneruskan khiyar sebab ahli waris memilki hak menerima barang yang selamat
dari cacat.
[2] Salam
yang dimaksud dalam pembahasan ini terdiri dari tiga huruf : sin-lam-mim (سلم), artinya adalah penyerahan dan bukan berarti perdamaian. Dari
kata salam inilah istilah Islam punya akar yang salah satu maknanya adalah
berserah-diri. Sedangkan kata salam yang bermakna perdamaian terdiri dari 4
huruf, sin-lam-alif-mim (سلام).
[5] Al
Mabsuth oleh As Sarakhsi jilid 12
halaman 138; Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam jilid 7 halaman 115
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
2013
(16)
-
November(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
November(16)
About Me
- Unknown
Labels
Blog Archive
-
▼
2013
(16)
-
▼
November
(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
▼
November
(16)
0 komentar:
Posting Komentar