Senin, 11 November 2013
Kesaksian dalam Talak
Di
antara yang membedakan Syi’ah Imamiyah dari mazhab-mazhab lainnya adalah
pendapat Imamiyah bahwa kesaksian dua orang yang adil merupakan syarat dalam
jatuhnya talak. Jika tidak ada dua orang saksi yang adil maka talak itu tidak
sah. Hal ini ditentang oleh para fukaha yang lain
Syekh ath-Thusi berkata, "Setiap talak yang tidak disaksikan oleh dua
orang Muslim yang adil, walaupun terpenuhi syarat- syarat lainnya, adalah tidak
sah. Hal ini ditentang oleh semua fukaha lain dan tidak seorang pun di antara
mereka yang menganggap keharusan adanya saksi."
Pembahasan ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab fiqih Ahlu- sunah.
Masalah tersebut hanya terbatas pada pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab
tafsir ketika menafsirkah firman Allah swt, “Apabila mereka telah mendekati
akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik ata.u lepaskanlah mereka
dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” ( QS. ath- Thalaq
[65 ] : 2) .Ada di antara mereka yang menjadikan kesaksian itu sebagai syarat
dalam talak dan rujuk dan adapula yang menjadikannya sebagai syarat khusus
dalam rujuk yang dipahami dari kalimat: maka rujuklah mereka dengan baik.
Ath- Thabari meriwayatkan hadis dari as- Saddi bahwa ia menafsirkan firman
Allah swt: dari persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu kadang-kadang dalam
rujuk. la pun berkata, “Hadirkanlah saksi dalam menahan itu jika mereka menahan
istri-istrinya." Yang dimaksud adalah rujuk. Di tempat lain disebutkan
bahwa persaksian itu dalam rujuk dan dalam talak. la berkata, “(Persaksian itu)
adalah ketika dilakukan talak dan ketika dilakukan rujuk."
Dinukil dari Ibn ‘Abbas bahwa ia menafsirkannya
(persaksian itu) dalam talak dan rujuk.
As-Suyuthi berkata, “‘Abdur Razzaq meriwayatkan hadis dari
'Atha': Nikah itu dengan saksi, talak itu dengan saksi, dan rujuk itu juga
dengan saksi."
'Imran bin Hushain ditanya tentang seorang laki-laki yang menalak istrinya
tanpa kehadiran saksi dan merujuknya kembali tanpa kehadiran saksi. la
menjawab, “Itu merupakan seburuk-buruk perbuatan. la menalak istrinya dengan
cara bid'ah dan merujuknya kembali dengan tidak mengikuti sunah. Hendaklah ia
menghadirkan saksi dalam talak dan rujuknya. Dan hendaklah ia memohon ampunan
kepada Allah."
Al-Qurthubi berkata, “Firman Allah swt: ...dan persaksikanlah ...memerintahkan
kepada kita untuk menghadirkan saksi dalam melakukan talak. Ada pula yang
berpendapat bahwa harus menghadirkan saksi dalam melakukan rujuk. Yang jelas,
keharusan persaksian itu adalah dalam rujuk, tidak dalam talak. Kemudian,
persaksian itu hukumnya mandub (sunah) menurut Abu Hanifah, seperti
firman Al1ah swt, dan persaksikanlah jika kalian melakukan jual beli. "
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, persaksian itu wajib dalam rujuk.
Al-Alusi berkata, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil ketika
melakukan rujuk jika kalian memilihnya atau ketika melakukan talak jika kalian
memilihnya sebagai upaya melepaskan diri dari kecurigaan."
Masih banyak pendapat-pendapat lain tentalig penafsiran ayat tersebut.
Ada dua ulama yang mengungkapkan hakikat ini. Mereka adalah Ahmad Muhammad
Syakir al-Qadhi al-Mishri dan Syekh Abu Zahrah. Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri,
setelah menukil dua ayat pertama surah ath- Thalaq, mengatakan, "Yang
tampak dari konteks kedua ayat itu adalah bahwa firman Allah ...dan
persaksikanlah ...berlaku dalam talak dan rujuk sekaligus. Perintah itu
menunjukkan wajib karena madlul (yang ditunjukkannya) adalah sesuatu
hakiki. Perintah itu tidak ditujukan pada sesuatu yang bukan wajib-seperti
mandub-kecua1i dengan adanya qarinah. Sedangkan di sini tidak ada qarinah yang
memalingkannya pada selain wajib. Bahkan qarinah-qarinah yang ada di sini
menegaskan pengertiannya sebagai sesuatu yang wajib."
Selanjutnya ia mengatakan, "Barangsiapa yang menghadirkan saksi dalam
melakukan talak maka talaknya itu dilakukan sesuai dengan cara yang telah
diperintahkan. Seperti itu pula orang yang menghadirkan saksi dalam melakukan
rujuk. Barangsiapa yang tidak melakukan demikian, ia telah melalaikan
hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan sehingga perbuatannya itu menjadi
batal, tidak menghasilkan konsekuensi apa-apa."
Kemudian ia menambahkan, "Syi’ah berpendapat wajibnya menghadirkan
saksi dalam talak, karena hal itu merupakan salah satu rukunnya. Tetapi mereka
tidak mewajibkannya dalam rujuk. Membedakan di antara keduanya merupakan
sesuatu yang aneh, tanpa dalil."
Abu Zahrah berkata, "Para fukaha Syi’ah lmamiyah dan
Isma’iliyah mengatakan bahwa talak itu tidak sah tanpa kehadiran dua orang
saksi yang adil. Hal itu berdasarkan firman Allah swt tentang. hukum-hukum
talak dalam surat ath-Thalaq, "... dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar: Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya" (QS. ath-Thalaq[65]: 2-3). Perintah untuk
menghadirkan saksi ini datang setelah menyebutkan ditetapkannya talak dan
dibolehkannya rujuk. Maka yang pantas adalah memberlakukan persaksian itu dalam
talak. Alasan ditetapkannya persaksian itu adalah untuk memberikan pelajaran
kepada orang- orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Sehingga hal
itu akan menjernihkan dan menguatkan imannya. Sebab, kehadiran saksi yang adil
tidak luput dari pelajaran yang baik yang dipersembahkan kepada pasangan
suami-istri tersebut. Maka mereka berdua mendapatkan jalan ke luar untuk
menghindari talak yang merupakan sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah
swt. Ka1au kami boleh memilih untuk diberlakukan di Mesir, tentu kami akan
memilih pendapat ini. Sehingga bagi sahnya talak, disyaratkan kehadiran dua
orang saksi yang adil."
Uraian di atas menunjukkan adanya kelompok yang berpendapat bahwa
persaksian itu berlaku dalam rujuk saja dan ada pula yang berpendapat bahwa
persaksian itu berlaku dalam rujuk dan talak. Tidak ada yang berpendapat bahwa
persaksian itu berlaku dalam talak saja kecuali yang saya ketahui dari ucapan
Abu Zahrah. Berkenaan dengan itu, setelah menukil teks tersebut, kami harus
mendalami dan mengambil petunjuk dari Kitab Allah untuk me- netapkannya.
Allah swt berfirman, "Hai Nabi, Apabila kamu
menceraikan istri- istrimu maka hendaklah kamu ceraikan pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka ( diizinkan)
ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka
sesunguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar: " (QS. ath-Thalaq [65]: 1-2)
Yang dimaksud dengan balaghna ajalahunna adalah mereka mendekati
akhir masa iddahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan amsikuhunna adalah
ungkapan kiasan yang berarti rujuklah mereka, sebagaimana yang dimaksud dengan bimufaraqatihinna
yang berarti membiarkan mereka keluar dari masa iddahnya dan menjadi ba'in.
Tidak diragukan bahwa firman Allah swt, ...dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil menunjukkan perintah wajib seperti
perintah-perintah lainnya yang terdapat dalam syariat dan tidak dapat diubah
menjadi pengertian lain kecuali dengan dalil lain. Terdapat beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
1. Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: maka ceraikanlah mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.
2. Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: maka
rujuklah mereka dengan cara yang baik.
3. Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang baik.
Tidak seorang pun mengatakan bahwa syarat itu berlaku pada bagian yang
terakhir. Sehingga berlakunya syarat itu berkisar pada bagian pertama dan
bagian kedua. Yang jelas, syarat tersebut berlaku pada bagian pertama. Ha1 itu
karena ayat tersebut menjelaskan hukum-hukum talak dan dibuka dengan ka1imat: Hai
Nabi, Apabila kamu menceraikan istri-istrimu Dalam ayat tersebut disebutkan
beberapa hukum talak sebagai berikut:
- Talak itu dilakukan pada masa iddah mereka.
- 2. Menghitung masa iddah.
- Mereka tidak boleh keluar dari rumah (selama masa iddah).
- Suami boleh memilih antara merujuk dan menceraikannya ketika mendekati akhir masa iddahnya.
- Kehadiran dua orang saksi yang adil di antara kamu.
- Masa iddah perempuan yang tidak tetap masa haidnya ( mustarabah) .
- Iddah perempuan yang tidak haid padahal dalam usia haid.
- Iddah perempuan yang sedang hamil.
Apabila Anda perhatikan sejumlah ayat da1am surat ini dari ayat pertama
hingga ayat ketujuh, Anda akan menemukan bahwa ayat-ayat tersebut menjelaskan
hukum-hukum talak. Sebab, itulah maksud sebenamya, bukan rujuk yang dipahami
dari firman-Nya: famsikuhunna (maka rujuk1ah mereka) yang merupakan
sisipan saja.
Berikut
ini adalah beberapa riwayat dari para imam kami as. Muhammad bin Muslim
meriwayatkan: Seorang laki-laki datang kepada Amirul Mukminin as di Kufah. la
berkata, “Saya telah menceraikan istri saya setelah ia suci dari haidnya
sebelum saya mencampurinya." Amirul Mukminin as bertanya, “Apakah engkau
menghadirkan dua orang saksi yang adil seperti yang Allah perintahkan
kepadamu?" Orang itu menjawab, "Tidak." Maka beliau berkata,
“Kembalilah kepadanya karena talakmu tidak sah."
Bakir bin A’yun meriwayatkan hadis dari ash-Shadiqain as bahwa keduanya
berkata, "Walaupun ia menceraikannya dalam masa iddahnya dan dalam keadaan
suci, belum dicampuri, tetapi hal itu tidak dipersaksikan oleh dua orang yang
adil, maka talaknya tidak sah."
Muhammad bin al-Fudhail meriwayatkan hadis dari Abu al- Hasan as bahwa
beliau berkata kepada Abu Yusuf, “Agama itu bukan qiyas seperti qiyas yang kamu
dan kawan-kawanmu lakukan. Allah menetapkan talak dalam Kitab-Nya dan
menegaskannya dengan kesaksian dua orang. Kedua saksi itu tidak diridhai
kecuali dua orang yang adil. Dia pun menetapkan pernikahan kembali (rujuk)
dalam Kitab-Nya dan membiarkannya tanpa saksi. Maka kalian mendatangkan dua
orang saksi dalam sesuatu yang dibatalkan Allah dan membatalkan dua orang saksi
dalam sesuatu yang ditegaskan Allah .Azza wa Jalla. Kalian mengesahkan
perceraian oleh orang gila dan yang sedang mabuk. Kemudian Dia menyebutkan
hukum perlindungan terhadap keluarga.
Ath-Thabrasi berkata, “Para mufasir mengatakan, Mereka
diperintahkan untuk mendatangkan dua orang saksi yang adil ketika melakukan
talak dan rujuk sehingga istri tidak mengingkari rujuk dan suami tidak
mengingkari talak setelah berakhir masa iddah.” Ada juga yang mengatakan bahwa
itu artinya, “Datangkanlah saksi dalam melakukan talak untuk memelihara agama
kalian.'"
Itu1ah hadis-hadis yang diriwayatkan dari para imam kami
as. Secara lahiriah, ini lebih pantas. Karena, jika kita mengartikan bahwa
kesaksian itu berlaku dalam talak maka hal itu merupakan sesuatu yang menuntut
penetapan wajib, dan kesaksian itu termasuk syarat-syarat sahnya talak.
Sedangkan orang yang mengatakan bahwa kesaksian itu berlaku dalam rujuk, itu
berarti kesaksian tersebut merupakan sunah."
Kemudian, Syekh Ahmad Muhammad Syakir, hakim syariat di Mesir, menulis
sebuah buku tentang talak dalam Islam. la menghadiahkan sebuah naskahnya
disertai sepucuk surat kepada
Allamah
Syekh Muhammad Husain Kasyif al-Ghithi' . Isi suratnya sebagai berikut: Saya berpendapat
bahwa disyaratkan kehadiran dua orang saksi ketika dilakukan talak. Jika talak
dilakukan tanpa kehadiran dua orang saksi, talak tersebut tidak sah. Walaupun
pendapat ini bertenta~gan dengan mazhab-mazhab yang empat (Ahlusunah) tetapi
ditegaskan dengan dalil dan sesuai dengan mazhab ahlulbait dan Syi'ah
Imarniyah.
Saya juga berpendapat bahwa disyaratkan kehadiran dua orang saksi ketika
dilakukan rujuk. Pendapat ini sesuai dengan salah satu qawl Imam Syafi'i
tetapi bertentangan dengan mazhab ahlulbait dan Syi'ah. Saya heranl terhadap
pendapat mereka yang membedakan di antara keduanya. Padahal dalilnya sarna
yaitu, "... dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara
kamu.”
Allamah
Kasyif al-Ghitha. menjawab dalam surat balasan kepadanya. Ia menjelaskan alasan
membedakan di antara keduanya. Berikut ini bagian yang terpenting dari teks
surat tersebut:
Seakan-akan-semoga Allah menerangi burhan Anda-di sini Anda tidak menujukan
pandangan pada ayat-ayat yang mulia sebagaimana yang biasa Anda lakukan
dalam-masalah yang lain. Jika Anda memperhatikan ayat-ayat itu, tentu tampak
kcpada Anda bahwa surah yang mulia tersebut berisi penjelasan tentang
kekhususan dan hukum-hukum talak sehingga surah tersebut dinamakan surah
ath-Thalaq. Surah tersebut diawali dengan firman-Nya, ". “Apabila kamu
menceraikan istri- istrimu. " Kemudian Dia menyebutkan keharusan
dijatuhkan talak pada masa iddah; bukan setelah bercampur dan bukan pu1a pada
masa haid, keharusan menghitung masa iddah, dan larangan bagi mereka untuk
keluar rumah. Setelah itu, Dia keluar dari topik pembahasan dengan menje1askan
rujuk ketika menjelaskan hukum-hukum
talak. Al1ah swt berfirman, "... Apabila mereka telah mendekati
akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan baik. "Yakni, apabi1a telah
mendekati akhir iddah, kamu boleh menahan mereka dengan rujuk atau meningga1kan
mereka untuk berpisah. Kemudian Dia kembali menyempurnakan hukum-hukum ta1ak.
Al1ah swt berfirman, " ..dan
persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu. " Yakni,
dalam talak yang merupakan konteks pembahasan untuk menjelaskan hukum-hukumnya
dan dipandang buruk mengembalikannya pada rujuk yang tidak disebutkan kecuali
sebagai sisipan saja. Tidakkah Anda perhatikan, kalau seseorang mengatakan,
'Jika seorang alim datang kepadamu, kamu harus menghormati dan memuliakannya.
Hendaklah kamu menyambutnya baik ia datang sendirian maupun bersama pelayan
atau temannya. Wajib mengiringi dan bersikap ramah.' Anda tidak akan memahami
kalimat ini kecuali keharusan mengiringi dan bersikap ramah kepada alim itu,
bukan kepada pelayan dan temannya walaupun kedua orang itu berjalan di
belakangnya. Demi Allah, menurut kaidah-kaidah bahasa Arab dan rasa bahasa ( dzawq)
yang benar, ini sangat jelas dan tidak samar bagi Anda. Anda lebih
menguasai bahasa Arab kecuali kalau tidak lalai-kelalaian lawan dari
ketidakraguan. Ini dari lafaz dalil dan konteks ayat yang mulia.
Terdapat
ungkapan yang mendalam dan benar dalam hal hikrnah syariat dan fa1safah Islam
serta ketinggian kedudukan dan keluasan wawasannya da1am hukum-hukumnya, yaitu
bahwa tidak ada sesuatu yang ha1a1 yang paling dibenci Allah swt kecua1i ta1ak.
Agarna Islam, seperti yang Anda ketahui tidak menghendaki jenis perpisahan apa
pun terutama da1am keluarga. Lebih khusus lagi da1am pernikahan setelah satu
sama lain sa1ing memberi.
Pembuat syariat, dengan kebijaksanaan-Nya yang agung,
hendak mengurangi terjadinya perceraian dan perpisahan. Maka Dia memperbanyak
syarat-syaratnya berdasarkan kaidah yang sudah dikenal bahwa Apabila sesuatu
itu banyak ikatannya akan sedikit keberadaannya. Dia menetapkan adanya dua
orang saksi yang adil, pertama untuk memastikan dan kedua untuk
menangguhkannya. Mudah-mudahan dengan kehadiran dua orang saksi atau kehadir-
an suami~istri atau salah satu dari keduanya bagi mereka akan menimbulkan
penyesalan dan mereka kembali bersatu-sebagaimana ditunjukkan da1am finnan
Allah swt, ". ..kamu tidak tahu barangkali Allah menjadikan sesuatu
yang baru setelah itu. " Inilah hikmah yang mendalam dari
ditetapkannya dua orang saksi. Tidak diragukan bahwa ha1 itu sangat
diperhatikan oleh Pembuat syariat Yang Maha bijaksana di samping terdapat
faedah-faedah yang lain. Ini semua merupakan kebalikan dari masalah rujuk.
Pembuat syariat ingin menyegerakannya, dan dalam menunda-nundanya barangkali
terdapat penyakit. Karenanya dalam rujuk tidak diwajibkan satu syarat pun.
Menurut kami, pengikut mazhab Imamiyah-dengan segala
ucapan, perbuatan, dan isyarat yang menunjukkannya-dalam rujuk tidak disyaratkan
redaksi (shigat) tertentu seperti yang di- syaratkan dalam talak. Semua
itu untuk mempermudah terlaksananya perkara yang dicintai Pembuat syariat yang
Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya dan sangat menyukai persatuan mereka,
bukan perpisahan. Bagaimana tidak memadai dalam rujuk, bahkan cukup dengan
isyarat, menyentuhnya, dan meletakkan tangan padanya dengan maksud rujuk.
Ia-yakni, perempuan yang ditalak raj'i-bagi kami pengikut mazhab Imamiyah masih
merupa- kan istri hingga keluar dari iddahnya. Oleh karena itu, ia dapat
mewarisi dari suaminya dan suami dapat mevarisi darinya, wajib bagi suami
menafkahinya, suami tidak boleh menikahi saudara perempuannya, suami tidak
boleh menikah dengan istri kelima, dan berlaku baginya hukum-hukum pernikahan
lainnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
2013
(16)
-
November(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
November(16)
About Me
- Unknown
Labels
Blog Archive
-
▼
2013
(16)
-
▼
November
(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
▼
November
(16)
0 komentar:
Posting Komentar