Senin, 11 November 2013
Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
Kalau
pewarisan dengan 'ashabah itu terjadi ketika fardh tidak menghabiskan seluruh
harta pusaka, maka 'aul adalah kelebihan fardh atas harta pusaka. Kata itu
diambil dari kata 'ala -ya 'ulu - 'awlan yang berarti lebih.
Atau, kata itu diambil dari kata 'awl yang berarti al-mayl (kecenderungan).
Di antaranya, kata itu digunakan dalam firman Allah swt, "Yang demikian
itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (an ta'ulu)" (QS. an-Nisa'
[4]: 3). Seakan-akan faridhah itu adalah keaniayaan karena kecenderungan
pada kejahatan terhadap para pemilik saham dengan dengan membebankan kekurangan
terhadap mereka. Atau, kata itu diambil dari kata 'awl yang berarti
mengangkat. Seperti dikatakan, 'alat an-naqah dznabaha (unta itu
mengangkat ekornya) hal itu disebabkan terangkatnya fardh karena bertambahnya
saham. Bagaimanapun, 'aul itu merupakan lawan dari ta'shib.
Masalah
'aul, yakni kelebihan faraid atas saham tirkah, termasuk masalah-masalah baru
yang tidak ada nasnya dari Rasulullah saw. 'Umar telah diuji dengan hal itu
ketika pada masa kekhalifahannya seorang perempuan meninggal dunia. sedangkan
ia memiliki seorang suami dan dua orang saudara perempuan. Kemudian ia
mengumpulkan para sahabat dan berkata kepada mereka, " Allah swt telah
menetapkan fardh bagi suami, yaitu seperdua dan bagi dua orang saudara
perempuan itu dua pertiga. Jika aku memulai memberikan bagian kepada suami,
maka dua orang saudara itu tidak memperoleh hak yang semestinya. Sebaliknya, jika
aku memulai memberikan bagian kepada dua orang saudara perempuan, maka suami
itu tidak memperoleh haknya yang semestinya. Karenanya, bermusyawarahlah untuk
mencari jalan keluarnya bagiku." Kemudian ia menyepakati pendapat sebagian
besar mereka untuk menetapkan 'aul. yaitu membebankan pengurangan kepada semua
ahli waris tanpa mendahulukan ashhabul furudh atas yang lain. Namun, pendapat
itu ditentang oleh Ibn ' Abbas. la mengatakan bahwa suami-istri itu mendapatkan
seluruh haknya dan kekurangan itu dibebankan kepada anak-anak perempuan.
Sejak masa itu, para fukaha terbagi ke dalam dua
kelompok, mazhab-mazhab yang empat (Ahlusunah) dan mazhab-mazhab fiqih
pendahulunya berpendapat adanya ‘aul. Sedangkan Syi’ah imamiyah-tentu karena
mengikuti Imam 'Ali as dan muridnya, Ibn 'Abbas-berpandangan sebaliknya. Mereka
membebankan kekurangan itu hanya kepada sebagian ahli waris sehingga tindakan
mereka itu merupakan tarjih tanpa murajjih.
Ringkasan dari pendapat mazhab Syi'ah adalah bahwa harta pusaka itu jika
tidak mencukupi saham-saham ahli waris, maka mereka yang berhak mendapatkan
saham-saham yang telah ditegaskan, yaitu kedua orang tua dan suami-istri
didahulukan atas anak-anak perempuan, dan saudara-saudara perempuan seibu
didahulukan atas saudara-saudara perempuan sekandung atau seayah. Sisa dari
saham-saham mereka diberikan kepada anak- anak perempuan dan saudara-saudara
perempuan sekandung atau seayah. Ibn 'Abbas ra berpendapat seperti ini. ‘Atha
‘bin Abi Rayah juga berpendapat demikian.
Para fukaha Ahlusunah meriwayatkan pendapat ini dari
Muhammad bin' Ali bin Husain al-Baqir as. Inilah pendapat Dawud bin' Ali
al-lshbahani. para fukaha yang lain mengatakan bahwa harta pusaka apabila tidak
mencukupi saham-saham ahli waris, dibagi di antara mereka berdasarkan kadar saham
mereka masing- masing. Hal serupa dilakukan dalam masalah utang dan wasiat
ketika tirkah tidak mencukupinya. Yang menunjukkan kesahihan pendapat yang kami
anut adalah ijmak sekelompok ulama terhadap masAlah itu. Mereka tidak berbeda
pendapat dalam masAlah tersebut. Kami telah menjelaskan bahwa ijmak mereka
merupakan hujah.
Syekh
ath-Thusi berkata, "'Aul bagi kami adalah batal. Setiap masalah mengalami
'aul menurut pendapat mereka yang menyimpang. Pendapat kami dalam masalah itu
berbeda dengan pendapat mereka."
Pendapat itu juga dikemukakan Ibn ' Abbas. la membebankan kekurangan itu
kepada anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki, dan
saudara-saudara sekandung atau seayah.
Pendapat yang sama dikemukakan Muhammad bin al-Hanafiyah, Muhammad bin 'Ali
bin al-Husain bin 'Ali bin Abi Thalib as, dan Dawud bin' Ali. Sedangkan seluruh
fukaha meng'aulkannya.
Untuk menjelaskan pendapat tentang 'aul, tidak mengapa
ditunjukkan salah satu dari masalah-masalah 'aul yang dikenal dengan Ummul
Farwah. Kami cukupkan dengan beberapa kasus ahli waris.
I. Suami dan dua orang saudara perempuan. Suami mendapat seperdua, yaitu
tiga bagian dari enam bagian. Sedangkan dua saudara perempuan mendapat dua
pertiga, yaitu empat bagian dari enam bagian. Jelas bahwa besarnya harta pusaka
kurang dari seperdua + dua pertiga. Kalau dari enam bagian itu diambil
seperduanya, sisanya tidak dua pertiga bagian. Demikian pula sebaliknya. Maka
saham-saham itu di'aulkan menjadi tujuh bagian (3 + 4 = 7).
Orang yang berpendapat adanya 'aul membagi tirkah menjadi tujuh saham dari
enam saham. Maka suami mendapat tiga saham dan dua orang saudara perempuan
mendapat empat saham. tetapi dari tujuh bagian. Dengan demikian. kekurangan
dibebankan kepada semuanya. Karenanya, suami tidak mewarisi seperdua yang
hakiki dan dua orang saudara perempuan pun tidak mewarisi dua pertiga yang
hakiki. Melainkan masing- masing mendapatkan saham yang kurang dari besar saham
yang semestinya.
2. Seperti kasus di atas-yaitu suami dan dua orang saudara perempuan
(sekandung)-dan seorang saudara perempuan seibu yang fardhnya seperenam.
Jelaslah bahwa jumlah tirkah itu kurang dari dua seperdua + pertiga +
seperenam. Maka tirkah itu di'aulkan menjadi delapan saham (3 + 4 + 1 = 8).
Orang
yang berpendapat adanya ‘aul membebankan kekurangan itu kepada semuanya. Maka
harta pusaka itu dibagi menjadi delapan saham. Suami mendapat tiga bagian, dua
saudara perempuan (sekandung) mendapat empat bagian, dan seorang saudara
perempuan seibu mendapat satu bagian, tetapi semuanya dari delapan saham.
Karenanya suami tidak memperoleh seperdua, dua orang saudara perempuan (sekan-
dung) tidak mendapat dua pertiga, dan seorang saudara seibu tidak mendapat
seperenam.
3. Seperti kasus di atas-yaitu suami dan dua orang saudara perempuan
(sekandung), dan seorang saudara perempuan seibu yang fardhnya seperenam-dan
seorang saudara laki-laki seibu yang fardhnya juga seperenam. Maka fardh itu di
‘aulkan men- jadi sembilan bagian (3 + 4 + 1 + 1 = 9).
Suami mendapat tiga bagian, dua saudara perempuan
(sekandung) mendapat empat bagian, seorang saudara perempuan seibu mendapat
satu bagian, dan seorang saudara laki- laki seibu memperoleh satu bagian,
tetapi semuanya dari sembilan saham, bukan dari tujuh saham. Karenanya suarni
tidak memperoleh seperdua, dua saudara perempuan (sekandung) tidak memperoleh
dua pertiga, seorang saudara perempuan seibu tidak memperoleh seperenam, dan
saudara laki- laki seibu tidak memperoleh seperenam, melainkan secara lafaz
saja.
Hal itu dinamakan Ummul Farwakh karena di'au1kan
dengan bilangan ganjil dan juga dengan bilangan genap.
Terdapat satu masalah lain yang dinamakan masalah al-minbariyah. Masalah
itu pernah ditanyakan kepada Imam ' ALi as ketika ia sedang berada di atas
mimbar. Ketika itu, seorang laki-laki ber- diri dan bertanya, "Wahai
Amirul Mukminin, seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggAlkan dua orang
anak perempuan, kedua orang tua, dan seorang istri, bagaimana pembagian
warisnya?" Imam as menjawab, "Seperdelapan saham untuk perempuan
menjadi sepersembilan." Maksudnya, menurut pendapat yang paling kuat,
sahamnya menjadi sepersembilan.
Hal itu karena bilangan penyebut gabungan dari dua pertiga + seperenarn +
seperdelapan adalah 24. Maka dua pertiganya adalah 16, dua perenamnya adalah 8,
dan seperdelapannya adalah 3. Ketika itu, fardh tersebut di'aulkan menjadi 27
saham (16 + 8 + 3 = 27).
Orang
yang berpendapat adanya 'aul membebankan kekurangan itu kepada semua ashhabul
furudh. Maka yang fardhnya dua pertiga memperoleh 16 saham, kedua orang tua memperoleh
8 saham, dan seorang istri memperoleh 3 saham dari 27 saham dari yang
seharusnya 24 saham. Istri walaupun mendapat 3 saham, tetapi bukan dari 24
saham sehingga fardhnya seperdelapan yang hakiki, melainkan dari 27 saham,
yaitu sepersembilan tirkah yang seharusnya 24 saham.
Inilah teori 'aul dan penjelasannya secara mudah, tanpa menggunakan
penghitungan yang rumit. Walau demikian, penjelasannya terperinci. Berikut ini
kami kemukakan dalil-dalil mereka yang berpendapat adanya 'aul.
Dari penjelasan Sayid al-Murtadha tampaklah bahwa mereka
yang berpendapat adanya 'aul kadang-kadang sejalan dengan pendapat mazhab
imamiyah dalam beberapa kasus, seperti se- orang perempuan yang meninggAl dunia
meninggAlkan dua orang anak perempuan, kedua orang tua, dan seorang suami.
Jumlah harta peninggalannya kurang dari dua pertiga + dua perenam + seperempat.
Kita dapat melakukan beberapa hal berikut; membebankan kekurangan itu pada
masing-rnasing saham ini atau pada sebagiannya. Umat telah sepakat bahwa dua
orang anak perempuan mendapat pengurangan saham, tanpa diragukan. Maka kita
harus memberikan kepada kedua orang tua itu seperenam dan kepada suami itu
seperempat. sedangkan sisanya untuk dua orang anak perempuan. Kekurangan itu
hanya dibebankan kepada mereka karena mereka boleh mendapat pengurangan menurut
ijmak.
Dalil-dalil Mereka yang Berpendapat Adanya ‘aul
Mereka
yang berpendapat adanya ‘aul berdalil dengan beberapa alasan berikut:
I. Orang-orang yang berutang membagi harta pusaka menurut kadar
keterbatasan bagian itu dari utang mereka. Demikian pula, para ahli waris,
semuanya berhak atas harta pusaka itu.
Catatan: Hal itu merupakan qiyas ma’al fariq, karena utang
bergantung pada jaminan, sedangkan tirkah seperti boroug bagi kreditur. Dengan
kata lain, utang itu bergantung pada harta pusaka sebagai ketergantungan
kepemilikan (istihqaq), bukan ketergantungan keterbatasan ( inhishar)
. Kalau mereka tidak memenuhi hak kreditur, maka kreditur itu dapat
mengambil-alih harta pusaka itu dan pemenuhan tuntutannya melalui penyitaan.
Kalau mereka melunasi utang bukan dari harta pusaka, maka kreditur tidak boleh
menolak. Oleh karena itu, tidaklah mustahil kalau seseorang memiliki utang
kepada orang pertama seribu, kepada orang kedua dua ribu, dan kepada orang
ketiga sepuluh ribu, dan utang itu menjadi berlipat ganda dari jumlah harta
pusaka. Sebab, debitur telah menggunakan harta orang lain melalui peminjaman
atau kredit. Maka ia menjadi debitur dengan harta yang digunakannya, baik
kadamya sebesar hartanya, lebih dari hartanya maupun kurang dari hartanya.
Tidak ada masalah dalam keterkaitan berlipatgandanya harta pusaka dengan
.jaminan karena ia memadai lebih dari itu;
Adapun
saham-saham warisan hanya berkaitan dengan harta pusaka dan benda yang
diwariskan. Mustahil harta itu men- cakup seperdua + seperdua + dua pertiga.
Pemilikan atas warisan dari harta pusaka dengan jumlah fardh sebesar ini
tidaklah masuk akal. Karenanya, saham-saham itu harus diubah dengan bentuk lain
yang dapat tercukupi dari harta pusaka agar sebagian dalil furudh tidak
dimutlakkan mencakup dua hal, yaitu keterpisahan dua penggabungan sehingga
tidak menjadi mustahil. Akan dikemukakan kepada Anda penjelasan tentang apa
yang mengandung pemutlakan keadaan pengabungan dengan furudh yang lain dan apa
yang tidak mengandung pemutlakan.
Para sahabat kami telah menjelaskan secara terperinci berbagai aspek dalam
mengkritik dalil ini. Berikut ini kami sebutkan yang terpenting di antaranya.
Al-Murtadha berkata, " Apa yang mereka katakan
tentang 'aul, yaitu jika si mayit memiliki utang tetapi harta pusaka tidak
memadai untuk melunasinya, maka harta pusaka itu harus di- bagi di antara para
kreditur menurut kadar piutang mereka tanpa membebankan kekurangan kepada
sebagian mereka. HAl itu karena para kreditur adalah sama dAlam kewajiban pe-
lunasan harta mereka dari harta pusaka si mayit. DAlam hAl itu, seorang
kreditur tidak memiliki keistimewaan daripada kreditur yang lain. Jika harta
pusaka itu memadai, hak-hak mereka terpenuhi. Tetapi jika harta pusaka itu
tidak mencukupi, maka mereka galing membaginya. Namun, tidak demikian dalam
masalah-masalah 'aul. Sebab, telah kami jelaskan bahwa sebagian ahli waris
lebih pantas untuk mendapat pengurangan jumlah saham daripada ahli waris yang
lain. Kedudukan mereka tidak samma, tidak seperti para kreditur. Kedua hal itu
berbeda."
2. Pembayaran dengan cicilan dengan adanya keterbatasan- keterbatasan ini
harus dilakukan dalam wasiat kepada semua. Maka dalam waris pun seperti itu.
Gabungan dari keduanya adalah semua berhak atas harta pusaka itu. Kalau
seseorang memberikan wasiat kepada Zaid seribu, kepada 'Umar sepuluh ribu, dan
kepada Bakar dua puluh ribu, sementara itu seper- tiganya tidak memadai jumlah
itu, maka pengurangan dibebankan pada semua menurut kadar saham mereka.
Catatan: Ketentuan itu tidak dapat diterima menjadi landasan qiyas
sebelum tampak keadaan sesuatu yang diqiyaskan padanya. Bahkan, menurut
ketentuan itu, wasiat diberikan menurut skala prioritas menurut urutannya
hingga harta itu habis dibagi. Sedangkan bagi mereka yang tidak tercukupi dari
sepertiga harta itu gugur haknya. Sebab, ia memberikan wasiat dengan sesuatu
yang tidak dimilikinya maka wasiatnya batal.
Benar, kalau ia menyebutkan semua nama, seperti apabila ia mengatakan,
"'Zaid, 'Umar, da:n Bakar masing-masing mendapat seribu," tetapi
harta peninggalannya tidak mencukupi, maka tidak diragukan bahwa pengurangan
dikenakan kepada semuanya. Perbedaan contoh ini dan contoh di atas adalah
penjelasan pemberi wasiat tentang 'aul. Kalau penjelasan seperti itu dAlam
syariat-kami menyimpang dulu dari apa yang akan dijelaskan kepada Anda harus
diikuti maka mengapa dilakukan qiyas seguatu yang tidak terkandung dalam
penjelasan tersebut.
3. Kekurangan itu harus dibebankan kepada ahli waris seperti halnya
kelebihan saham. Menurut orang yang berpendapat adanya 'aul, kekurangan itu
dikenakan kepada semua ahli waris. Sedangkan menurut yang lain, kekurangan itu
dibebankan kepada sebagian ahli waris. Akan tetapi, ini merupakan tarjih tanpa
murajjah.
Catatan: Menghilangkan kemustahilan pembagian waris dengan
membebankan kekurangan kepada semua ahli waris merupakan upaya menjaga
kesahihan pokok pensyariatannya. Adalah sah seseorang memiliki seperdua dari
harta pusaka itu, yang lain memiliki seperdua yang lain, dan orang ketiga memiliki
dua pertiganya. Tetapi Anda telah mengetahui bahwa hal itu tidak benar. Harta
pusaka itu tidak mencukup furudh tersebut. Karena penetapannya tidak benar,
pada gilirannya tidak sampai pada pembebanan kekurangan atas semua ahli waris
dan pembentukan ‘aul. Membebankan kekurangan itu kepada semua berarti
penyimpangan dari fardh dan pengakuan bahwa dalam hal itu tidak ada seperdua,
seperdua, dan sepertiga, sebagaimana akan tampak dalam penjelasan dalil- dalil
mereka yang berpendapat batalnya 'aul.
Di samping itu, adanya kemungkinan yang ditunjukkan Imam Amirul Mukminin
dan muridnya, Ibn ' Abbas-akan dikemukakan kemudian pendapat mereka-, serta
keluarga suci (ahlulbait).
4. Abu Thalib al-Anbari meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Samak dari
‘Ubaidah as-Sulmani: ‘Ali as sedang berada di atas mimbar. Kemudian seseorang
berdiri dan bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, seorang laki-laki meninggal
dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, kedua orang tua, dan seorang
istri, bagaimana pembagian warisnya?" Imam as menjawab, "Seperdelapan
saham perempuan itu menjadi sepersembilan." Mereka mengatakan, "Ini
merupakan penjelaan tentang ‘aul, karena kalian mengatakan bahwa saham itu
tidak boleh kurang dari seperdelapan, tetapi Imam as menetapkan seperdelapan
menjadi sepersembilan."
Bagian akhir hadis itu menunjukkan bahwa Imam menyebutkannya sebagai
persetujuan terhadap pendapat yang berlaku pada masa itu. Jika tidak, siapa
yang tidak mengetahui bahwa Imam dan keluarganya yang suci serta pengikut jalan
mereka menolak ‘aul dengan sungguh-sungguh. Berikut ini komentamya.
Saya
bertanya kepada 'Ubaidah, "Mengapa demikian?" la menjawab, "pada
masa kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththab terjadi suatu kasus tentang faraid,
tetapi ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. la berkata, 'Dua anak
perempuan itu mendapat dua pertiga, kedua orang tua mendapat dua perenam, dan
seorang istri mendapat seperdelapan. Seperdelapan ini merupakan sisa setelah
diberikan bagian untuk kedua orang tua dan dua orang anak perempuan." Para
sahabat Muhammad saw berkata kepadanya, "Berikanlah kepada mereka fardh
mereka; untuk kedua orang tua seperenam, untuk istri seperdelapan, dan sisanya
untuk kedua anak perempuan." la bertanya, "Bukankah bagian mereka
(dua anak perempuan itu) dua pertiga?" ‘Ali bin Abi Thalib berkata
kepadanya, "Mereka berdua memperoleh sisanya." Tetapi 'Umar dan Ibn
Mas'ud menolaknya. Kemudian ' AIi as berkata menurut pendapat 'Umar. 'Ubaidah
berkata, "Setelah itu, sekelompok sahabat ‘AIi as memberitahukan kepadaku
tentang kasus seperti itu bahwa suami memperoleh seperempat ketika bersamanya
ada dua anak perempuan, kedua orang tua mendapat dua perenam, dan sisanya
diberikan kepada dua anak perempuan. Inilah yang benar walaupun kaum kami
menolaknya."
Dari hadis itu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, ‘AIi dan para sahabat Nabi saw yang lain, kecuali dua
orang berpendapat yang bertentangan dalam masalah 'aul dan tersebarnya 'aul
itu karena ketika itu Khalifah mendukung hal tersebut.
Kedua, pada dasarnya, Imam 'Ali as mengamalkan pendapatnya dan
membebankan kekurangan itu hanya kepada kedua anak perempuan itu. Berdasarkan
hal itu, yang dimaksud dengan ucapannya "Kemudian Imam 'Ali as berkata
menurut pendapat 'Umar". Hanyalah sebagai basa-basi belaka. Jika tidak, berarti
bagian akhir hadis itu bertentangan dengan isi hadis tersebut.
Hingga
di sini, selesailah kajian terhadap dalil-dalil mereka yang berpendapat adanya
'aul. Kini, akan kami kemukakan dalil-dalil mereka yang menolaknya.
Dalil-dalil Mereka yang Menolak ‘Aul
1.
Mustahil Allah menjadikan dalam harta pusaka itu seperdua + sepertiga, atau dua
pertiga + seperdua, dan penjumlahan lain yang tidak sesuai (dengan jumlah harta
tersebut). Jika tidak, tentu Dia tidak tahu atau berbuat kesia-siaan. Maha
Tinggi Allah dari berbuat demikian.
2. Pendapat adanya ‘aul menimbulkan ketidakkonsistenan
dan anggapan ketidaktahuan. Tentang ketidakkonsistenan, hal itu telah kami
jelaskan ketika wenjelaskan pendapat adanya ‘aul. Yaitu, bahwa apabila
seseorang meninggal dunia dan meninggalkan kedua orang tua, dua anak perempuan,
dan seorang suami, maka kami katakan bahwa fardh mereka diambil dari dua belas
bagian. Artinya, kedua orang tua memperoleh empat perdua belas bagian, dua
orang anak perempuan memperoleh delapan perdua belas bagian, dan suami
memperoleh tiga perdua belas bagian. Apabila pembagian itu kita ‘aulkan menjadi
lima belas, maka kita berikan kepada kedua orang tua empat perlima belas
bagian, kepada dua orang anak perempuan delapan perlima belas bagian, dan
kepada suami tiga perlima belas bagian. Kita memberikan kepada kedua orang tua
itu seperlima + sepertiga bagian dari yang seharusnya sepertiga, kepada suami
sepe1ima bagian dari yang seharusnya seperempat bagian, dan kepada dua orang
anak perempuan sepertiga + seperlima bagian dari yang seharusnya dua pertiga.
Hal itu merupakan ketidakkonsistenan.
Adapun adanya anggapan ketidaktahuan, karena Allah swt menyebutkan
seperlima + sepertiga sebagai sepertiga, seperlima sebagai seperempat, dan
sepertiga + seperlima sebagai dua pertiga.
Sepantasnya kedua dalil itu menentukan satu bentuk dalil yang terbentuk
dari masalah hakiki dengan mengatakan bahwa apabila Allah SWT menjadikan dalam
harta itu jumlah dua perdua + sepertiga, maka ada dua konsekuensi. Pertama, apabila
hal itu ditetapkan tanpa menyertakan penyelesaian- dengan ‘aul, misalnya-, maka
sebagai konsekuensinya akan muncul anggapan bahwa Allah tidak tahu atau
melakukan perbuatan sia-sia. Mahatingi Allah dari berbuat demikian. Kedua, apabila
menetapkannya dengan menyertakan penyelesaian seperti dengan ‘aul, hal itu
menimbulkan ketidakkonsistenan
antara
perkataan dan perbuatan, dan adanya anggapan ketidaktahuan karena hal itu
merupakan kejelekan.
3. Pendapat adanya 'aul menyebabkan diutamakannya
perempuan atas laki-laki dalam beberapa kasus. Jelas, hal itu bertentangan
dengan syariat Islam. Kasus-kasus tersebut di antaranya sebagai berikut:
a. Apabila seorang perempuan meninggal dunia dan meningalkan seorang suami,
kedua orang tua, dan seorang anak laki-laki.
b. Apabila seorang perempuan meninggal dunia dan
meningalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan seibu, dan seorang
saudara laki-laki seayah.
Penjelasannya: Kalau seorang perempuan meninggal dunia
dan meninggalkan seorang suami dan kedua orang tua, maka menurut lahiriah nas,
kepada suami diberikan seperdua yakni tiga perenam bagian, kepada ibu diberikan
dua perenam bagian, dan kepada ayah diberikan seperenam bagian. Akan tetapi,
beberapa mazhab tidak mengamalkan lahiriah nas tersebut karena hal itu menyebabkan
diutamakannya perempuan atas laki-laki.
Dalam kedua kasus di atas, menurut pendapat yang
mengatakan adanya 'aul, hal itu menyebabkan mereka mengutamakan perempuan atas
laki-laki dengan penjelasan sebagai berikut.
Dalam kasus pertama, mereka harus memberikan seperempat bagian kepada
suami, d~ perenam bagian kepada kedua orang tua, dan sisanya yakni lima perdua
belas bagian diberikan kepada seorang anak laki-laki.
Dalam kasus kedua, mereka harus memberikan seperdua bagian kepada suami,
seperti~ bagian kepada dua orang saudara perempuan, dan sisanya seperenam
bagian diberikan kepada saudara laki-laki tanpa 'aul.
Akan tetapi, kalau kedudukan anak laki-laki itu digantikan dengan anak
perempuan dan saudara laki-laki seayah digantikan dengan saudara perempuan
seayah, keduanya mendapat bagian yang lebih besar daripada yang telah
disebutkan di atas.
Hal itu menyebabkan dilakukannya 'aul dalam kedua kasus tersebut dan
pengurangan dibebankan kepada semua.
Penyelesaian Masalah Ini
Imam'
Ali as mencela pendapat yang mengatakan adanya 'aul. la mengatakan, "Yang
dapat menghitung pasir dalam gundukan mengetahui bahwa saham itu tidak
di'aulkan menjadi enam. Kalau mereka memperhatikannya, saham itu tidak menjadi
enam." Dari para imam ahlulbait as juga sering terdengar ungkapan,
"Saham itu tidak di'aulkan."
Tentang sejarah munculnya 'aul disebutkan dalam riwayat dari Ibn ' Abbas
dan dijelaskan penyelesaian yang ditempuh murid Imam ‘Ali ini dalam riwayat
dalam riwayat 'Ubaidullah bin' Abdullah. Berikut ini teksnya:
Pada suatu hari, aku duduk-duduk bersama Ibn ' Abbas. la menjelaskan
masalah faraid dalam harta warisan. Ibn 'Abbas berkata, "Tahukah kamu,
Allah swt yang dapat menghitungjumlah pasir dalam gundukan itu menetapkan dalam
suatu harta seperdua + seperdua + sepertiga. Dua perdua itu sudah meliputi
seluruh harta tersebut, lalu di mana yang sepertiganya?"
Zafr bin Aus al-Bashri bertanya kepadanya, 'Siapa yang pertama kali
melakukan 'aul dalam faraid?'
Ibn ' Abbas menjawab, 'Umar bin al-Khaththab ketika diajukan kepadanya
masalah faraid dan masing-masing ahli waris mempertahankan bagiannya maka ia
berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu siapa di antara kalian yang didahulukan
Allah dan siapa di antara kalian yang diakhirkan. Aku tidak menemukan sesuatu
yang lebih memuaskan daripada membagikan harta itu kepada kalian secara
proporsional. Kepada setiap pemilik saham diberlakukan 'aul faraid.' Demi
Allah, kalau ia mendahulukan orang yang didahulukan Allah dan mengakhirkan
orang yang Dia akhirkan, tentu tidak akan terjadi 'aul di dalam faraid."
Zafr bertanya lagi, "Siapa yang didahulukan dan
siapa yang diakhirkan?"
Ibn
'Abbas menjawab, "Setiap bagian faridhah (yang ditentukan) tidak
Allah turunkan dari suatu faridhah kecuali kepada faridhah yang lain. Inilah
yang didahulukan Allah. Yang diakhirkan ialah setiap faridhah jika kurang dari
fardhnya maka tidak ada baginya kecuali sisanya. Itulah yang diakhirkan. Yang
didahulukan itu adalah: suami memperoleh seperdua, apabila masuk kepadanya
sesuatu yang mengurangi bagiannya, maka bagiannya kembali menjadi seperempat
dan tidak ada sesuatu pun yang akan menguranginya lagi. Istri memperoleh
seperempat. Namun, apabila masuk sesuatu yang menguranginya, bagiannya menjadi
seperdelapan tanpa ada sesuatu pun yang akan menguranginya lagi. Ibu memperoleh
sepertiga. Tetapi apabila masuk sesuatu yang menguranginya, bagiannya menjadi
seperenam tanpa ada sesuatu pun yang akan menguranginya. Inilah faraid yang
didahulukan Allah. Adapun faraid yang diakhirkan sebagai berikut: faridhah
anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan adalah seperdua dan dua
pertiga. Apabila jumlah faraid kurang dari itu maka mereka tidak memperoleh
bagian kecuali jika ada sisa. Inilah yang diakhirkan. Apabila bergabung antara
yang didahulukan dan yang diakhirkan maka dimulai dari yang didahulukan, lalu
berikan haknya secara penuh. Jika ada sisa, maka sisa tersebut diberikan kepada
orang-orang yang diakhirkan. Tetapi jika tidak ada sisa, mereka tidak
memperoleh bagian apa-apa."
Dalam penjelasan dari Ibn 'Abbas tersebut terdapat kelompok-kelompok yang
tidak mendapat pengurangan bagian. Mereka itu adalah: pertama, suami; kedua,
istri; ketiga, ibu. Mereka bersekutu, bahwa mereka tidak diturunkan
dari suatu faridhah kecuali pada faridhah yang lain. Ini pertanda bahwa saham
mereka sudah ditentukan, tidak boleh dikurangi.
Ibn
' Abbas juga menyebutkan saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, karena
mereka pun tidak diturunkan dari suatu saham (sepertiga) kecuali pada saham
yang lain. Semuanya tercakup dalam ucapan Amirul Mukminin as. Abu' Amr al-' Abd
meriwayatkan hadis dari 'Ali bin Abi Thalib bahwa ia pernah berkata,
"Faraid itu dari enam saham, yaitu dua pertiga ada empat saham, seperdua
ada tiga saham, sepertiga ada dua saham, seperempat ada satu setengah saham, dan
seperdelapan ada tiga perempat saham. Tidak ada yang mewarisi ketika bersamanya
anak kecuali kedua orang tua, suami, dan istri. Tidak ada yang menghalangi ibu
untuk memperoleh sepertiga bagian kecuali anak dan saudara laki-laki. Suami
tidak memperoleh lebih dari seperdua dan tidak kurang dari seperempat. Istri
tidak memperoleh lebih dari seperempat dan tidak kurang dari seperdelapan. Jika
istri berjumlah empat orang atau kurang, dalam hal ini mereka menempati
kedudukan yang sama. Saudara seibu tidak memperoleh lebih dari sepertiga dan
tidak kurang dari seperenam. Dalam hal ini mereka menempati kedudukan yang sama
baik laki-laki maupun perempuan. Mereka pun tidak terhAlang untuk memperoleh
sepertiga kecuali oleh anak dan ayah. Adapun denda ditanggung bersama di antara
orang-orang yang memperoleh warisan.
Benar. Abu Nashir meriwayatkan hadis dari Abu' Abdillah as bahwa ia
berkata, "Ada empat orang yang tidak tersentuh pengurangan dalam warisan,
yaitu kedua orang tua, suami, dan perempuan (istri)." karena yang dimaksud
dengan perempuan (al-mar'ah) adalah istri, maka harus dibatasi riwayat
tentang kaLalah ibu. Apa- bila mereka itu termasuk orang-orang yang
didahulukan Allah dan kepada mereka tidak dikenakan pengurangan, maka mereka
yang diakhirkan Allah adalah seorang anak perempuan, dua orang anak perempuan,
kerabat dari pihak ayah dan ibu atau ibu saja, baik seorang saudara perempuan
maupun beberapa orang saudara perempuan.
Muhammad bin Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Ja'far
as: Aku bertanya kepada Abu Ja'far as, " Apa pendapat Anda tentang seorang
perempuan yang meninggal dunia dan meninggalkan suami, beberapa orang saudara
laki-laki seibu, beberapa orang saudara laki-laki seayah, dan beberapa orang
saudara perempuan seayah?" AbuJa'far as menjawab, "Suami memperoleh
seperdua tiga saham, beberapa orang saudara laki-laki seibu memperoleh
sepertiga dua saham, dAlam hAl ini laki-laki dan perempuan sama. Sisanya
diberikan kepada saudara-saudara laki-laki seayah dan saudara-saudara perempuan
seayah. Allah swt berfirman, Laki- laki memperoleh dua bagian perempuan. Sebab,
saham itu tidak di 'aul dan karena bagian suami tidak kurang dari seperdua dan
bagian saudara-saudara laki-laki seibu tidak kurang dari sepertiga. Jika lebih
dari itu, mereka bersekutu dalam sepertiga.
Terdapat
ungkapan yang indah di dalam riwayat ash-Shaduq dalam 'Uyun al-Akhbar yang
diriwayatkan dari ar-Ridha as dalam suratnya kepada al-Ma’mun, yaitu: “Pemilik
Saham lebih berhak daripada orang yang tidak memiliki saham”
Perbedaan
antara Anak Perempuan dan Kalalah Ibu
Kini
tinggal pembahasan tentang masuknya seorang anak perempuan, beberapa orang anak
perempuan, Seorang saudara perempuan, dan beberapa orang saudara perempuan ke
dalam kelompok orang-orang yang dikenai pengurangan, tetapi saudara perempuan
dan saudara laki-laki seibu tidak masuk ke dalamnya. Padahal, ketiga kelompok
itu berada dalam satu tngkatan.
Maka
seorang anak perempuan dan beberapa orang anak perempuan memperoleh seperdua
dari dua pertiga; beberapa saudara perempuan memperoleh seperdua dari dua
pertiga, kalalah ibu memperoleh sepertiga dan seperenam. Apa perbedaan
antara kelompok ketiga dan dua kelompok pertama?
Jawabannya akan menjadi jelas dengan penjelasan berikut.
Masuknya saudara laki-laki ke dalam kalalah ibu tidak menyebabkan kalalah
itu keluar dari kapasitasnya sebagai pewaris fardh. Seorang dari mereka,
baik.laki-laki maupun perempuan, memperoleh seperenam. Lebih dari seorang dari
mereka, baik laki-laki maupun perempuan, atau laki-laki dan perempuan,
memperoleh seper enam yang dibagi di antara mereka secara sama rata.
Ini berbeda dengan dua kelompok pertama. Maka Seorang anak perempuan dan
seorang saudara perempuan yang belum berkeluarga memperoleh seperdua. Kalau
mereka itu lebih dari seorang, mereka memperoleh dua pertiga. Kalau seorang
saudard laki-laki bergabung dengan mereka, maka laki-laki memperoleh dua bagian
perempuan di dalam kedua kelompok itu, yakni mereka tidak mewarisi sebagai
ashhabul furudh, melainkan sebagai kerabat.
Berdasarkan hal itu, kalalah Ibu merupakan pewaris mutlak fardh,
yang tidak mewarisi kecuali sebagai ashhabul furudh. Ini berbeda dengan seorang
anak perempuan dan selebihnya atau seorang saudara perempuan dan selebihnya.
Kadang-kadang mereka mewarisi sebagai kerabat. Hal itu terjadi apabila kepada
mereka bergabung seorang saudara laki-laki.
Jika
Anda telah memahami apayang telah kamijelaskan, kami akan menjelaskan hal
berikut.
Kalalah
ibu
mewarisi fardh secara mutlak baik mereka itu bersama seorang laki-Iaki maupun
tidak, baik mereka itu tersendiri dalam tingkatan warisan maupun tidak. Kalau
tidak ada ahli waris selain mereka, mereka mewarisi sepertiga fardh, dan
sisanya merupakan radd. Dalam keadaan apa pun bagian mereka tidak
berkurang kalau tidak bertambah ketika ada radd. Ini mentinjukkan bahwa tidak
ada pengurangan ketika jumlah harta pusaka tidak mencukupi.
Ringkasnya, kami tidak melihat pada mereka ada penghilangan fardh dalam
keadaan apa pun dan tidak ada pengurangan ketika keadaan berkembang sedemikian
rupa. Ini berbeda dengan seorang anak perempuan dan seorang saudara perempuan
kalau ke dalam kelompok mereka masuk seorang saudara laki-laki. Fardh itu
berubah dari seperdua atau dua pertiga menjadi sejumlah yang tersisa setelah
dibagikan saham yang lain, seperti kedua orang tua atau kalalah ibu.
Kemudian mereka berbagi sepertiga-sepertiga. Bagian seorang anak perempuan,
atau beberapa orang anak perempuan, atau seorang saudara perempuan dan beberapa
orang saudara perempuan berkurang banyak dari seperdua dan dua pertiga. Ini
pertanda bolehnya membebankan pengurangan kepada mereka apabila jumlah harta
pusaka tidak mencukupi.
Dengan
kata lain, kalalah ibu selamanya mewarisi fardh apabila tersendiri.
Adapun dua kelompok pertama mewarisi fardh kadang- kadang saja, seperti apabila
di antara mereka terdapat seorang saudara laki-laki. Kadang-kadang mereka
mewarisi sebagai kerabat saja, seperti apabila bergabung bersama mereka seorang
saudara laki-laki. Demikian pula, kalalah ibu tidak dikenai pengurangan
dan bagian mereka pun tidak berkurang dari sepertiga dan se- perenam. Ini
berbeda dengan dua kelompok terakhir. Bagian mereka berkurang dari seperdua dan
dua pertiga.
Barangkali. apa yang kami bahas ini. dijelaskan juga oleh penulis kitab
Al-Jawahir. Ia berkata. "Selain orang yang berkerabat dengan ibu yang
tidak mewarisi kecuAli fardh. Berbeda dengan yang lainnya, ia kadang-kadang
mewarisi fardh dan kadang-kadang mewarisi sebagai kerabat, seperti seorang anak
perempuan dan dua orang anak perempuan yang apabila bergabung bersama mereka,
bagian mereka berkurang dari seperdua atau; dua pertiga berdasarkan nas ayat
tersebut. Karena. ketika itu bagian laki-laki adalah dua bagian perempuan
"
Al-‘Amili
berkata, "Pengurangan itu dikenakan kepada seorclng anak perempuan dan
beberapa anak perempuan, karena apabila bergabung bersama mereka dua orang anak
laki-Iaki, kadang- kadang bagian mereka berkurang dari sepersepuluh atau
seperduanya berdasarkan nas ayat: bagi laki-laki dua bagian perempuan. Demikian
pula halnya dalam kasus seorang saudara perempuan dan beberapa orang saudara
perempuan dari pihak ayah atau dari pihak ayah dan ibu."
Al-Muhaqqiq berkata, “Pengurangan itu dikenakan kepada ayah atau seorang
anak perempuan atau dua orang anak perempuan atau seorang saudara perempuan dan
beberapa orang saudara perempuan sekandung atau seayah. Tetapi pengurangan itu
tidak dikenakan kepada seorang saudara perempuan dan be- berapa orang saudara
perempuan seibu."
Dalam kitab al-Qawa.id Allamah tidak menyebutkan "ayah".
Itu benar karena pembahasan dalam masalah ini adalah tentang penambahan fardh
atas tirkah (harta pusaka). Maka pembahasan ini berkenaan dengan didahulukannya
sebagian ashhabul furudh atas sebagian yang lain. Adapun ahli waris yang bukan
ashhabul furudh adalah di luar pembahasan. Ayah juga demikian, karena
bersamanya ada anak si mayit, fardh-nya tidak berkurang dari se- perenam.
Padahal, kalau tidak ada si mayit, ia tidak berhak mendapat fardh. Sebaliknya
dengan ibu, karena ibu termasuk ashhabul furudh secara mutlak.
Untuk mengetahui bahwa penyebab terjadinya 'aul itu adalah suami atau istri
apabila salah seorang di antara mereka bergabung bersama seorang anak perempuan
atau beberapa orang anak perempuan, atau bersama seorang saudara perempuan atau
beberapa orang saudara perempuan sekandung atau seayah. Jika tidak, tentu tidak
terjadi 'aul.
Berdasarkan hal itu, terjadi kasus-kasus berikut.
I. Kalau istri meninggal dunia dan meninggalkan seorang suami, kedua orang
tua, dan seorang anak perempuan, pengurangan hanya dikenakan kepada seorang
anak perempuan setelah dibagikan yang seperempat dan seperenam.
2. Kalau istri meninggal dunia dan meninggalkan seorang suami, salah
seorang dari kedua orang tua, dan dua orang anak perempuan, pengurangan hanya
dikenakan kepada dua orang anak perempuan itu setelah dibagikan yang seperempat
dan dua perenam.
3. Kalau suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, kedua orang
tua, dan dua orang anak perempuan, pengurangan hanya dikenakan kepada dua orang
anak perempuan itu setelah dibagikan yang seperempat dan dua perenam.
4. Kalau istri meninggal dunia dan meninggalkan seorang
suami bersama kalalah ibu dan seorang saudara perempuan atau beberapa
orang saudara perempuan sekandung atau seayah, pengurangan dikenakan kepada
seorang saudara perempuan atau beberapa orang saudara perempuan setelah
dibagikan yang seperdua dan seperenam apabila kalalah itu seorang, atau setelah
dibagi yang sepertiga apabila kalalah itu lebih dari seorang.
Beberapa
Catatan Penting
I.
Hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas menunjukkan 'bahwa "tinta
umat" (orang yang sangat dalam ilmunya-pent.) itu benar-benar membatalkan
‘aul hingga ia bersedia untuk bersumpah (bermubahalah)’lbn Qudamah berkata,
"Diriwayatkan dari Ibn ' Abbas bahwa ia berkata tentang seorang suami,
seorang saudara perempuan, dan seorang ibu, "Siapa yang ingin bermubahalah
denganku, bahwa masalah-masalah ini tidak dikenai 'aul. Sesungguhnya Zat yang
dapat menghitung jumlah pasir dalam sebuah gundukan sangat adil sehingga tidak
menjadikan dalam sebuah harta peninggalan itu seperdua + seperdua + sepertiga
bagian. Dua perdua ini saja sudah menghabiskan seluruh harta tersebut. Lalu, di
mana bagian yang se- pertiga itu?" Karenanya, kemudian masalah ini disebut
masalah mubahalah.
2. Seorang ahli fiqih Madinah, az-Zuhri, melakukan istihsan
terhadap fatwa Ibn ‘Abbas ini. la mengatakan, "Hal itu akan menjadi
hujah kalau saja tidak didahului oleh 'Umar bin al- Khaththab"
Syekh itu, di dalam al-Khilaf, meriwayatkan hadis dari 'Ubaidullah
bin' Abdullah dan Zafr bin Aws al-Bashri bahwa mereka berdua bertanya kepada
Ibn ' Abbas, "Siapakah orang pertama yang melakukan ‘aul dalam
faraid?" Ibn ' Abbas menjawab, “umar bin al-Khaththab." lajuga pemah
ditanya, “Mengapa Anda tidak memberikan petunjuk kepadanya?" la men-
jawab, “Aku takut kepadanya dan perintahnya menakutkan."
Az-Zuhri
berkata, “Kalau saja ia tidak mendahului Ibn ‘Abbas, seorang imam yang adil,
yang menetapkan hukum dengan adil, dan diikuti banyak orang, tentu tidak akan
ada orang yang berbeda pendapat dengan Ibn ‘Abbas."
3. Musa Jarullah telah mengungkapkan pendapat yang
berlebihan berkenaan dengan masalah ‘aul hingga sangat membosankan. Di
antaranya ia mengatakan, “Saya kira, pendapat tidak adanya ‘aul di kalangan
Syi’ah adalah pendapat kaum Zhahiri. Sebab. ‘aul itu berarti pengurangan. Jika
pengurangan itu dikenakan kepada keseluruhan saham dengan perbandingan yang
proporsional, maka itu adalah ‘aul yang adil, ‘aul itulah yang diakui umat dan
dengannya mereka memelihara nas-nas Al- Qur'an. Tetapi, jika pengurangan dalam
saham itu tidak proporsional, maka itu adalah ‘aul yang batal yang dianut kaum
Syi’ah dan dengannya mereka menentang nas-nas Al-Qur'an.
Catatan:
1. Makna proporsional dalam ‘aul dalam hal ini adalah penghilangan atau
kecenderungan pada kebatilan. Menafsirkan ‘aul dengan pengurangan-kalau kita
asumsikan penggunaannya ini benar-sama sekali tidak sesuai, karena menyebabkan
kelebihan faraid dari saham tirkah. Penghilangannnya walaupun lazim, tentu
mengurangi tirkah dalam memenuhi seluruh fardh. Akan tetapi, ia melihat masalah
ini dari sisi kehilangan faraid, bukan pada berkurangnya saham tirkah. Oleh
karena itu, Ibn ‘Abbas berkata, “Demi Allah, kalau mereka mendahulukan orang
yang didahulukan Allah dan mengakhirkan orang yang diakhirkan Allah, niscaya
tidak terjadi ‘aul dalam faraid."
Jelaslah bahwa menafsirkan ‘aul dengan berkurangnya faridhah tidaklah
benar.
2. Kami bisa menerima kalau ‘aul diartikan kekurangan. Akan tetapi, ia
menuduh Syi’ah bahwa mereka berpendapat demikian karena membebankan kekurangan
itu kepada orang yang diakhirkan sebagai kelalaian dalam pandangan mereka.
Sebab, kekurangan itu hanya dapat terjadi apabila orang yang diakhirkan itu adalah
orang yang berhak mendapat fardh. Akan tetapi, di kalangan mereka kekurangan
itu tidak dibebankan kepada orang yang berhak mendapat fardh, melainkan ia
mewarisi karena kekerabatan, seperti orang lain yang mewarisinya. Ketika itu,
dalam hal itu sama sekali tidak dibenarkan adanya pengurangan.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Ibn ' Abbas bahwa orang yang
didahulukan adalah mereka berhak memperoleh dua fardh, sedangkan orang yang
diakhirkan adalah mereka yang hanya berhak memperoleh satu fardh. Hal itu
berada di luar kasus ini. Dalam menjawab pertanyaan Zafr yang menanyakan siapa
yang didahulukan dan siapa yang diakhirkan, Ibn ‘Abbas menjawab, “Orang yang
diturunkan dari satu fardh ke fardh yang lain, itulah yang didahulukan.
Sedangkan orang yang diturunkan dari satu fardh ke sisa pem- bagian, itulah
yang diakhirkan Allah. Dengan kata lain, orang yang diakhirkan Allah adalah
orang yang tidak diberi hak telah ditetapkan dalam Al-Qur'an ( mafrud) ketika
harta warisan tidak mencukupi. Maka ia memperoleh sisa. dalam fardh ini ia
bukan ashhabul furudh karena ia adalah ahli waris karena kekerabatan. Dengan
demikian, jelaslah bahwa tidak ada ‘aul menurut Syi'ah dalam pengertian yang
dikenal dalam istilah para fukaha.
3. la juga menyebutkan bahwa Ahlusunah memelihara nas-nas AL-Qur'an.
Sebaliknya karena membebankan kekurangan itu kepada orang yang diakhirkan,
Syi’ah menyimpang dari nas- nas AL-Qur'an. Ini ucapan yang aneh. Apabila
dibebankannya kekurangan itu kepada orang yang diakhirkan-dengan segala maaf-
adalah menyimpang dari lahiriah AL-Qur'an, maka me- masukkan kekurangan itu
kepada semua ahli waris menyimpang lebih jauh lagi dari AL-Qur'an. Dalam
penjelasan yang lalu Anda telah mengetahui bahwa orang yang Allah tetapkan
fardnya
seperdua memperoleh bagian yang lebih sedikit dari seperrdua, dan orang yang
ditetapkan fardhnya dua pertiga, mendapat bagian yang lebih sedikit dari dua
pertiga. Bagaimana hal itu tidak dikalakan menyimpang dari AL-Qur'an?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
2013
(16)
-
November(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
November(16)
About Me
- Unknown
Labels
Blog Archive
-
▼
2013
(16)
-
▼
November
(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
▼
November
(16)
0 komentar:
Posting Komentar