Senin, 11 November 2013
Bahaya Politisasi Agama
Seringkali kita mendengar atau
membaca bahwa agama pada hakikatnya merupakan kumpulan wahyu Ilahi, yang
dijadikan oleh para pemeluknya sebagai pedoman moral dan panduan etik untuk
memayungi masalah-masalah keduniaan. Sebagai kumpulan wahyu, agama memiliki
kebenaran mutlak dan bukan kebenaran relatif atau kebenaran nisbi sebagaimana
halnya pikirian-pikiran yang muncul dari otak manusia.
Maka tidak berlebihan apabila agama menjadi urusan yang
paling puncak, atau meminjam istilah asing merupakan the ultimate concern.
Khususnya agama-agama samawi yaitu agama Yahudi, Nasrani dan Islam, jelas
sekali mengajarkan bahwa wahyu-wahyu yang datang dari langit itu hendaknya
dijadikan pedoman hidup, supaya umat manusia yang memeluk agama-agama samawi
itu memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa kedudukan agama sangat
tinggi dan menjadi sumber kebenaran, sumber moralitas dan etik, yang
dikembangkan oleh umat manusia. Namun di sinilah seringkali para pengikut agama
wahyu mudah terjebak, karena pertimbangan-pertimbangan keduniaan atau politik
praktis. Dalam Al-Qur'an, Allah mengingatkan hendaknya kaum beriman tidak
menjual murah ayat-ayat Allah dengan imbalan keduniaan yang remeh. Ini berarti,
tidak diperbolehkan seorang beriman atau apalagi agamawan mengeksploitasi
ayat-ayat Tuhan maupun --dalam konteks Islam-- hadis Nabi, menjadi sekadar
wahana untuk mencapai kepentingan praktis keduniaan.
Dalam sejarah memang pernah terjadi di dunia Barat,
bagaimana agama Nasrani mendominasi kehidupan keduniaan baik di bidang sosial
dan politik, sehingga agama begitu mudah dieksploitasi oleh masyarakat Barat
pada abad pertengahan itu. Ternyata hasil akhirnya merupakan pelecehan terhadap
agama itu sendiri, karena agama telah dieksploitasi sebegitu jauh disertai
dengan nafsu kekuasaan.
Sebagai reaksi terhadap pelecehan dan penyalahgunaan agama
itu, muncullah zaman sekularisme yang ingin memisahkan secara total antara
agama dan politik, sehingga berlaku sebuah rumus: apa yang menjadi hak kaisar
kembalikanlah kepada kaisar, apa yang menjadi hak Tuhan kembalikan kepada
Tuhan. Dan, sebagaimana kita ketahui, sekularisme itu pun kemudian memunculkan
suatu bahaya baru karena agama sebagai sendi-sendi moral telah dicampakkan
jauh-jauh di dalam kehidupan politik manusia Barat kala itu.
Menarik untuk dicermati bahwa di kalangan Islam ada juga
kemungkinan penyalahgunaan agama wahyu, dengan cara dipelintir dan
ditekuk-tekuk untuk mencapai tujuan praktis jarak pendek. Tentu yang relevan
dengan pembicaraan kita kali ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian ulama
NU. Saya ulangi "oleh sebagian ulama NU", tidak semuanya, karena kita
melihat cukup banyak ulama NU yang menyadari betapa agama tidak boleh
dipelesetkan maupun ditekuk-tekuk hanya sekadar untuk memenuhi ambisi politik
seseorang.
Menurut Imam Ghazali yang sering dijuluki hujjatul Islam,
ada dua kategori ulama. Yang pertama disebut ulama Al-syuk, yaitu ulama jahat yang telah mensubordinasikan kepentingan agama di
bawah kepentingan keduniaan dan tentu manifestasinya cukup jelas.
Manifestasi dari pekerjaan ulama al-syuk adalah selalu menjual ayat dengan
murah, dan mencarikan justifikasi atau rasionalisasi atau pembenaran murahan
dengan mengambil dalil-dalil agama maupun logika tertentu, agar tujuan politik
penguasa dapat dicapai walaupun dengan risiko pembodohan masyarakat.
Sementara itu ada kategori yang lain ulama al-khair, yakni
ulama kebajikan yang sangat hati-hati di dalam menerapkan ijtihad dan tidak
pernah gegabah untuk mengeksploitasi atau menyalahgunakan agama dengan cara
mensubordinasikan di bawah kepentingan praktis politik keduniaan.
Apa yang diberitakan media massa hari-hari belakangan ini
sungguh membuat cemas bagi orang yang menyadari bahaya eksploitasi agama.
Diterangkan misalnya, menurut fikih para penentang kekuasaan dicap sebagai
bughot atau pemberontak sehingga layak dibasmi. Mereka lupa bahwa ada hadis
yang lebih kuat lagi, yang mengatakan bahwa tidak wajib taat kepada seorang
makhluk apabila dia menentang atau bermaksiat kepada Sang Khalik. Artinya,
penguasa yang korup, zalim, dan membelakangi kebenaran serta keadilan, justru
harus diturunkan.
Tetapi baiklah kita tidak akan berdebat mengenai hadis yang
terakhir di atas. Tetapi jelas sekali bahwa kita tidak bisa membuat analogi
berbahaya, bahwa penentang Abdurrahman Wahid lantas mendapat cap bughot yang
pantas diperangi dan bahkan dibasmi. Ini jelas merupakan sebuah eksploitasi dan
penyalahgunaan agama, oleh karena Indonesia bukan negara syariat. Namun yang
lebih gawat lagi, ternyata fatwa bughot itu intinya hanya untuk mempertahankan
kekuasaan seseorang. Apabila hal ini sampai difatwakan dengan mem-bughot-kan
para penentang rezim Abdurrahman Wahid, maka akan terjadi implikasi yang sangat
jauh.
Pertama, di mata masyarakat akan terdapat sebuah citra
bagaimana Islam telah ditekuk-tekuk oleh para ulamanya untuk mengabdi
kepentingan yang sempit dan picik. Kedua, di mata orang-orang nonmuslim, citra
Islam tentu akan sangat jatuh karena mereka akan mencibir bahwa ternyata para
ulama dengan mudah menjual beli ayat-ayat Qur'an untuk kepentingan keduniaan.
Ketiga, yang tak kalah gawatnya, tentu untuk memperbaiki citra Islam dan
umatnya akibat penyalahgunaan agama itu mungkin diperlukan beberapa generasi.
Itu pun belum tentu bisa sembuh sama sekali.
Karena itu, saya pernah dalam suatu kesempatan meminta agar
ulama NU Muhammadiyah, DDI, Al-Irsyad, Perti, MUI, dll. Super hati-hati tatkala
mereka membicarakan masalah bughot. Apalagi kemudian mencari dalih-dalih Qur'an
dan hadis hanya sekadar untuk mempertahankan sebuah kekuasaan.
Sesungguhnya di dalam sorotan Qur'an sendiri, kekuasaan itu
memang hak milik Allah yang dititipkan sementara pada hamba-hamba-Nya dan dapat
ditarik kembali sesuai kehendak-Nya. Demikian juga Allah berkehendak untuk
memuliakan seorang hamba-Nya. Tapi Allah juga mampu menistakan hamba itu sesuai
kehendak-Nya, karena Tuhan Mahakuasa atas segala sesuatu.
Alhamdulillah, perlu kita ucapkan syukur, ternyata fatwa
pem-bughot-an memang tidak keluar. Ini tentu berkat kepiawaian dan wawasan
jangka jauh dari sebagian ulama NU yang memang sejatinya ulama yang dapat
diandalkan. Bayangkan andai kata ulama-ulama NU semuanya lupa diri, kemudian
terseret oleh arus kekuasaan. Kita bisa membayangkan akibat yang berbahaya buat
umat Islam Indonesia maupun buat bangsa pada umumnya. Oleh karena itu kita
benar-benar lega, pada akhirnya PBNU mengatakan soal seputar bughot hanyalah
semacan wacana keagamaan, dan tidak ada kaitannya dengan pembangunan demokrasi
modern seperti yang kita idamkan bersama.
Akhirnya, marilah kita bersama-sama belajar menjadi lebih
arif lagi dan memegang agama sesuai dengan kehendak agama itu sendiri.
Janganlah sesuatu yang bersangkutan dengan urusan ultima atau urusan puncak
dari seluruh kemanusiaan kita, dengan gampangnya kita banting jatuh di bawah
kepentingan politik praktis --yang dalam sorotan agama itu sendiri hanyalah
urusan remeh yang tidak ada artinya. Wallahu a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
2013
(16)
-
November(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
November(16)
About Me
- Unknown
Labels
Blog Archive
-
▼
2013
(16)
-
▼
November
(16)
- NIKAH SIRI
- sujud sukur
- Organisasi konferensi Islam (OKI).
- Sabilillah
- Fundamentalisme Islam
- Hukum Faraid Ketika Terjadi ' Aul
- Bahaya Politisasi Agama
- Kesaksian dalam Talak
- untuk sahabat-sahabatku
- Poliotik Dan Filsafat Hukum
- KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)
- PENGERTIAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
- Sistem Pemilu Legislatif Di Prancis
- TEORI SENDI-SENDI PEMERINTAHAN
- HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
- UPAYA HUKUM <!--[if !supportLineBreakNewLine]-...
-
▼
November
(16)
0 komentar:
Posting Komentar